Allahu Akbar

Kamis, 30 Oktober 2008

Ketika Nikmat Berbicara

Memang Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sekalipun kita durhaka kepada-Nya, tetap saja Dia memberi kita banyak kenikmatan. Namun Dia tidak memberikan "iman" kepada hamba-hamba-Nya yang durhaka. Sudah seharusnya kita merenungkan hal ini. Apakah kita akan menjual iman dengan harga yang murah, padahal harga iman itu setara dengan surga.

Kita menjadi makhluk-Nya yang kufur setelah kita melalui kenikmatan itu tanpa berterima kasih kepada-Nya. Jika kita berterima kasih kepada orang yang memberikan bantuan kepada kita, sesungguhnya Allah-lah yang lebih berhak dan lebih banyak kita haturkan terima kasih. Karena kenikmatan yang Dia berikan, tiada terhitung jumlahnya. Mulai dari udara yang kita hirup, mata yang berkedip, hingga kita dapat mengeluarkan kotoran dari anus kita. Semua itu kenikmatan yang tiada ternilai harganya. Jika Anda mengucapkan kata "Alhamdulillah" ketika memperoleh kenikmatan, itu sudah cukup bagi Allah, tapi jika dibandingkan nikmat pemberian-Nya, jauh sekali dari standar yang semestinya.

Pada hakikatnya, rasa syukur kita bukan untuk Allah, melainkan untuk diri kita sendiri. Kekuasaan Allah tidak akan bertambah dengan banyaknya orang yang bersyukur dan tidak akan berkurang dengan banyaknya orang yang kufur. Begitupun dengan perintah-perintah Allah yang harus kita jalankan dalam kehidupan ini, semuanya adalah untuk diri kita sendiri. Bukankah jika kita bersyukur, Allah akan menambahkan kenikmatan untuk kita? Dan bukankah jika kita kufur, azab-Nya amatlah pedih?

Begitu tingginya maqam syukur, sehingga banyak ulama yang mengatakan bahwa syukur adalah separoh dari iman. Mengapa? Karena syukur adalah pintu gerbang untuk mengenal Allah dan mengenal diri kita sendiri. Ketika kita mengucapkan "Alhamdulillah", sesungguhnya kita sedang mengatakan bahwa seluruh puji-pujian hanyalah milik Allah $B!&(BTuhan semesta alam. Ketika kita memperlihatkan kenikmatan yang diberikan-Nya, sesungguhnya kita sedang mengatakan $B!&(Bdengan bahasa tubuh kita $B!&(Bbahwa semua itu berasal dari-Nya, bukan dari usaha kita sendiri. Jika Allah menghendaki kehinaan pada diri seseorang, maka tak akan ada orang yang sanggup membuatnya mulia. Kehinaan tetap melekat padanya seumur hidupnya.

Mari kita renungkan enam kenikmatan besar berikut ini, dan semoga kita dapat menjadi bagian dari orang-orang yang bersyukur setelah mengetahuinya.

Nikmat iman dan Islam
Inilah nikmat terbesar yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya. Inilah nikmat yang mengantarkan seseorang ke surga-Nya $B!&(Bpuncak kebahagiaan dan keabadian. Kita bersyukur telah dilahirkan sebagai seorang muslim, sementara masih banyak orang di luar sana tersesat jalan hidupnya. Kita juga dengan sangat mudah mengerjakan shalat atau menggenakan jilbab di depan keluarga kita, karena keluarga kita muslim. Sementara ada orang yang berusaha menyembunyikan keislamannya karena bila ketahuan, ia akan dihukum, disiksa, dan dikucilkan oleh keluarganya yang notabene kafir.

Karena keimananlah, Nabi Ibrahim dibakar hidup-hidup oleh Namrudz, Nabi Yahya digergaji tubuhnya hingga syahid, Nabi Yusuf rela tidak mendapatkan kenikmatan bersetubuh dengan wanita secantik Zulaikha, Nabi Muhammad dihina dan dicaci maki oleh pamannya sendiri, Bilal rela tubuhnya dihimpit batu besar ditengah sahara, Sumayyah dan Yasir syahid dengan penuh luka disekujur tubuhnya, dan Ammar $B!&(Banaknya $B!&(Bmenangis sejadi-jadinya melihat kondisi kedua orangtuanya tersebut.

Karena keimananlah, Ibnu Taimiyah dipenjara hingga wafatnya, Hasan al-Banna syahid diterjang peluru durjana, Sayyid Quthb digantung oleh thagut, Abdullah Azzam dan putranya syahid dalam sebuah ledakan besar, Ahmad Yasin tak pernah berhenti berjuang walau separuh tubuhnya lumpuh. Dimanakah kita berada saat mereka mengikrarkan kalimat iman dan Islam dalam perjuangan mereka? Dimanakah kita berada saat ruh, jiwa, dan tubuh mereka bersimbah darah?

Subhanallah, sudah seharusnya kita menjadi bagian dari mereka. Airmata ini sudah selayaknya bercucuran ketika mengenang perjuangan mereka. Wahai sahabatku, janganlah engkau gadaikan imanmu dengan harga yang murah, yaitu menjadi murtad dan membelakangi para mujahid. Istiqomahlah dan berpegang teguhlah! Islam ibarat intan berlian, dilihat dari sisi manapun tetap memancarkan kemilau. Islam adalah kebenaran yang nyata, tak terbantahkan!

Nikmat sehat
Ada yang sakit hingga tubuhnya rebah dipembaringan; ada yang lumpuh hingga tak dapat menggerakkan salah satu anggota tubuhnya; ada yang bisu hingga tak dapat berbicara; ada yang buta hingga tak dapat melihat; ada yang kaki dan tangannya diamputasi karena sebuah kecelakaan; ada yang tidak bisa membuang kotoran dalam tubuhnya; bahkan ada yang tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa berbaring menunggu ajal!

Lebih dari yang kita rasakan ketika kita sakit, sakit kita tak seberapa tapi kita banyak mengeluh; pusing sedikit, mengeluh; panas sedikit, mengeluh; uang sedikit, mengeluh; apakah kita hanya bisa mengeluh? Bukankah masih banyak saudara-saudara kita yang lebih parah dari kita? Lebih miskin dari kita? Tapi mereka toh tidak mengeluh!

Oh, mujahid Palestina, Irak, dan Afghan, serta mujahid dibelahan bumi manapun, sesungguhnya kami malu pada kalian. Setiap hari ada saja luka menganga akibat terjangan peluru atau pecahan bom, tapi kalian tetap bersabar. Hari-hari kalian begitu mencekam dan dilalui dengan huru-hara peperangan, tetapi wajah kalian tetap memancarkan keceriaan. Karena kalian memiliki iman yang lurus, maka kalian menjadi orang yang tidak pernah menyerah.

Nikmat harta
Orang-orang kaya belum tentu bahagia, demikian kata Donald Trump, pengusaha terkenal AS, buktinya, dia merasa tidak bahagia dan ada orang yang miskin namun tetap bahagia. Engkau lihat, para petani begitu asyik dengan lauk pauk yang dihidangkan istrinya ditengah hamparan luas sawah dan ladang. Namun, engkau lihat orang kaya yang dilarang makan ini dan itu oleh dokternya karena suatu penyakit yang kronis, atau tak berselara dengan segala bentuk hidangan menggiurkan karena stres.

Harta yang sedikit tapi dapat dinikmati dengan sepenuh jiwa, lebih baik daripada banyak tapi hanya menambah penyakit jiwa.

Jika Allah memberimu banyak harta, itu adalah kenikmatan yang seluruhnya berasal dari-Nya, bukan dari hasil usahamu. Janganlah engkau seperti Qarun yang mengatakan bahwa harta yang ia peroleh sepenuhnya berasal dari usahanya sendiri, bukan dari pemberian Allah. Cara bersyukurmu adalah dengan memberikan sebagiannya untuk zakat dan sedekah. Dengannya kenikmatan itu akan bertambah, bukan hanya bertambahnya harta, tapi yang lebih penting adalah bertambahnya pahala, keberkahan, dan keimanan.

Nikmat ilmu
Allah akan mempermudah jalan ke surga bagi muslim yang menuntut ilmu. Kenikmatan menuntut ilmu terlihat dari konsistensi dalam menuntut ilmu dan aktivitas amal shalih yang kerap kita lakukan. Begitu asyiknya membaca hingga kita banyak mendapatkan pengetahuan dan pencerahan. Selepas membaca buku ini, kita membaca buku yang lain, begitulah seterusnya; kita tenggelam dalam lautan buku. Jika kita tenggelam di tengah lautan, kita akan mati. Tapi tidak jika kita tenggelam dalam lautan buku, kita akan bertambah haus dan rasa keingintahuan kita semakin bertambah.

Penelitian menunjukkan bahwa banyak membaca dapat memberikan kesehatan pada tubuh kita, salah satunya terhindar dari kepikunan (dimensia). Engkau dapat mengetahuinya dari para ulama yang tetap produktif menulis dan berkarya walau usianya sudah sepuh. Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam usianya yang ke 81, tetap aktif berkarya dan menulis. Bandingkan dengan orang-orang yang seusia dengannya namun otaknya sudah "beku" dan hanya bisa merepotkan orang lain saja.

Jika engkau mendapatkan nikmat ilmu, berbahagialah dan bersyukurlah, karena $B!&(Bkata Imam Ibnu al-Jauzy $B!&(Btidak ada kenikmatan inderawi yang lebih besar daripada kenikmatan dalam menuntut ilmu.

Nikmat ibadah
Selepas shalat fardhu, doa dan dzikir dilafadzkan, lalu shalat sunat dikerjakan, dengan hati yang khusyu dan syahdu. Jiwa dan raga ini berpaut menjadi satu memeluk kehangatan ibadah kepada-Nya. Jika demikian, tiada yang dapat menghalanginya beribadah meskipun kesenangan-kesenangan duniawi di depan mata.

Selepas berbuka dengan dua buah korma, ada hidangan begitu menggiurkan di atas meja. Air liur pun bisa saja turun membasahi kerongkongan. Tapi bagi orang yang merasakan nikmatnya ibadah, panggilan Allah untuk shalat jauh lebih menggiurkan baginya. Begitulah ciri khas orang yang merasakan nikmatnya ibadah. Dia merasakan jika tidak beribadah, seolah-olah seluruh tubuhnya lumpuh dan jiwanya mati rasa.

Nikmat waktu
Detik demi detik berlalu. Jam demi jam berlalu hingga kita mati! Kita pasti mati, tapi kini kita masih hidup! Oh waktu, sudah berlalu sekian lamanya. Yang lalu tak mungkin kembali lagi. Yang akan datang masih dalam angan-angan. Sudah banyak waktu yang terbuang percuma, tapi tetap kita merasa aman-aman saja. Bukankah disana ada seribu pedang yang siap menyayat-nyayat tubuh?

Motivator terkenal, John C. Maxwell dalam bukunya, mengutip sebuah penelitian yang menyebutkan tentang bagaimana rata-rata orang Amerika yang mencapai usia 72 tahun menggunakan waktu mereka:
21 tahun untuk tidur
14 tahun untuk bekerja
7 tahun untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan
6 tahun untuk makan
6 tahun untuk melakukan perjalanan
5 tahun untuk menunggu giliran
4 tahun untuk belajar
3 tahun untuk menghadiri pertemuan
2 tahun untuk menjawab telepon
1 tahun untuk mencari barang-barang yang hilang
3 tahun untuk kegiatan-kegiatan lainnya

Selanjutnya beliau mengatakan, "Bila kita menargetkan untuk mencapai keberhasilan selama masa kerja kita berarti kita hanya punya waktu yang singkat untuk melakukannya, yakni kurang dari seperlima dari seluruh waktu yang kita miliki."

Nikmat waktu ini adalah nikmat yang berharga dalam hidup kita. Itu artinya, masih ada waktu untuk bertaubat, beribadah, menuntut ilmu, dan mengerjakan amal-amal shalih lainnya.

Demikianlah nikmat, begitu banyaknya melekat pada diri kita dan kehidupan kita, membuat Allah menegur kita secara berulang-ulang $B!&(Bdengan nada bertanya $B!&(Bdalam surat ar-Rahman: "Nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan". Ketika Rasulullah dihina oleh orang-orang kafir dengan sebutan "batara", yang artinya keturunannya terputus karena anak laki-laki beliau semuanya mati. Lalu Allah menurunkan ayat yang berbunyi: "Inna a'thaina kal kautsar - sesungguhnya Allah telah memberimu kenikmatan yang banyak," sebagai hiburan kepada Rasulullah Saw.. Dan jika memang demikian adanya, mengapa kita mesti bersedih dengan hilangnya satu nikmat? Bukankah Allah telah banyak memberi kita kenikmatan yang lain, yang jauh lebih besar dari kenikmatan yang hilang itu?
http://abufarras.blogspot.com

Selasa, 28 Oktober 2008

Begitu Berartinya Masjid

oleh Ineu

Hari Minggu lalu ada nuansa yang berbeda dari minggu-minggu sebelumnya di masjid. Setelah shalat Dzhuhur, salah seorang pembina keislaman remaja meminta kepada jama’ah untuk menjadi saksi bagi seorang pria Jerman yang akan masuk Islam siang itu. Tak lama kemudian beliau membimbing pria yang ada di sampingnya mengucapkan kalimat syahadat. Pekik takbir terucap dari seorang pria Jerman yang mengantar temannya yang bersyahadat itu. Serentak kami pun menyambut takbir tersebut dengan sepenuh rasa. Ada bias-bias bahagia di raut wajah sang mualaf dan pancarannya menyebar ke wajah-wajah jama’ah yang ikut bahagia dengan keharuan terucap di mata mereka yang berkaca-kaca.

Para jamaah pria memeluk dan menyalami Tobias sang mualaf usai pembimbing syahadat tadi memimpin jama’ah berdoa untuknya. Sementara itu secara spontan sebagian jama’ah wanita sibuk menghidangkan penganan sebagai wujud mensyukuri karuniaNya pada kesempatan tersebut. Hari itu masjid menjadi tempat seorang manusia mengucapkan ikrar saat menemukan jalan hidup yang sesungguhnya, sekaligus menjadi tempat diketuknya pintu-pintu hati jama’ah untuk mensyukuri nikmat iman Islam yang disandang selama ini.

Usai syukuran kecil, jama’ah yang sebagia besar remaja peserta kajian rutin Islam dalam bahasa Jerman juga anak-anak yang belajar baca al-Qur’an beserta orangtuanya dan para guru kembali disibukkan dengan aktivitas belajar-mengajar. Hari itu masjid menjadi tempat berkumpul jiwa-jiwa yang semangat mendekat kepadaNya.

Beranjak sore, orangtua murid TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) bertambah banyak. Hari itu memang para guru mengundang seluruh orangtua untuk hadir dalam rapat dengar pendapat yang rutin mereka adakan. Para orangtua begitu antusias menyampaikan pendapat, ide dan harapannya kepada para guru untuk kebaikan anak-anak mereka. Hari itu masjid menjadi wadah dialog para pendidik di dalam dan di luar rumah yang serius berupaya mencari metode agar terbentuk pribadi-pribadi shaleh yang tangguh menghadapi arus budaya Barat yang kapan saja dapat mengikis warna Islam dalam diri anak-anak dan remaja tersebut.

Suasana masjid semakin semarak saat menjelang maghrib, karena hari itu masjid kembali menjadi wahana berkumpulnya masyarakat muslim Indonesia setiap akhir bulan untuk menambah wawasan dan pemahaman mereka tentang Islam di samping ajang silaturrahim. Lebih dari seratus orang berkumpul memenuhi seluruh ruang masjid yang tak seberapa besar itu.

Masjid beserta jama’ah yang ada di dalamnya pun menjadi saksi saat sebuah acara spesial diadakan malam itu selepas ceramah. Atas usulan seorang jama’ah yang disetujui pengurus masjid, maka pada kesempatan itu lima orang jama’ah yang baru saja berhasil meraih cita-citanya "diwisuda" ala masjid. Acara yang baru pertamakalinya diadakan di masjid ini merupakan bentuk kepedulian dan penghargaan masjid akan prestasi para jamaah juga menjadi pendongkrak semangat para pelajar lainnya untuk dapat menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh hingga terwujud harapan dan cita-citanya.

Seorang sahabat pernah menyebut masjid tempat berkumpulnya muslimin Indonesia tersebut sebagai "pondok cinta" dikarenakan masjid yang menurut penilaian seorang ustadz lebih mirip musholla itu adalah tempat berkumpulnya jiwa-jiwa yang mengharap ridha dan cintaNya. Atas dasar cinta itulah masjid ini terasa hidup dan cukup memainkan peranannya dalam dinamika umat Islam Indonesia di Jerman khususnya di Berlin baik sebagai tempat penggemblengan ahlak, tempat penambahan wawasan keislaman dan keilmuan duniawi, tempat penempaan semangat berprestasi juga sebagai tempat persatuan. Dalam hal persatuan, terasa sekali semangat gotong royong para jama'ah dalam menyokong setiap kegiatan yang diselenggarakan masjid mulai dari menyiapkan ruangan sekaligus membersihkannya, menyiapkan konsumsi atas kerjasama seluruh jama'ah ibu-ibu sampai hal-hal lainnya yang tak dapat saya sebutkan satu persatu.

Denyut aktivitas masjid sampai mengalir pula dalam relung-relung kalbu putra-putri kami. Selama bulan Ramadhan lalu, mereka enggan bermain di Kindergarten (taman kanak-kanak). Kami sampai kehabisan akal membujuk mereka agar mau bermain bersama teman-temannya seperti sedia kala. Namun kedua anak balita itu bersikeras menolak. Setiap bangun pagi, kedua balita itu selalu bertanya, "Bunda, kita ke masjid kan? Tidak main sama teman-teman kan?"

Begitu pula saat menjelang tidur mereka bertanya lagi hal yang sama. Bila jawaban saya tidak seperti yang mereka harapkan, keduanya menangis dan baru berhenti saat saya janjikan mereka boleh ikut.

Pernah suatu hari saat saya tetap mengantar mereka ke Kindergarten, sepanjang jalan mereka menangis dan berteriak-teriak menyebut-nyebut masjid.
"Aku mau ke masjid, mau belajar sama Bunda, ga mau main sama teman-teman, mau ke masjid, mau ke masjiiid", begitu teriakan histeris mereka. Membuat hati saya jadi bimbang sekaligus terheran-heran atas kemauan yang tak biasanya itu.

Mereka seolah mengetahui kalau saat Ramadhan lalu setiap hari saya berangkat ke masjid karena di masjid saat itu tiap hari ustadz Saiful Bahri -seorang ustadz yang sedang menyelesikan program Doktor dalam bidang tafsir Qur’an di Universitas Al-Azhar Kairo, membagi ilmu dan pemahamannya pada jama’ah dalam hal mentadaburi ayat-ayat Al-Qur’an.

Pada akhirnya, saya sepakat dengan suami untuk meminta izin pada pihak Kindergarten selama Ramadhan itu dengan alasan mengambil urlaub (wisata). Maksudnya wisata ruhani, mengajak anak-anak berwisata ke masjid. Kedua anak itu tampak bahagia dapat pergi setiap hari ke masjid yang letaknya lumayan jauh dari tempat kami tinggal.

Segala puji tak terhingga pada Rabb semesta alam, yang telah memberikan kesempatan dalam episode kehidupan kami berinteraksi dengan sebuah "pondok cinta" di negeri orang. Begitu berartinya masjid dalam hidup kami, betapa kami mencintainya.

Berlin, Oktober 2008

Jumat, 24 Oktober 2008

Sepucuk "Hidayah" Buat Seorang Sahabat

Oleh: Aidil Heryana, S.Sosi

dakwatuna.com - "Celakalah Khalid. Semoga tuhan Romawi melaknatnya."
Sumpah serapah itu keluar dari mulut Argenta seraya menarik tali
kekang kudanya meninggalkan medan perang yang masih berdebu.
Samar-samar terlihat ribuan tentara Romawi mulai mengambil langkah seribu.

Argenta masih terengah-engah menahan lelah setelah seharian bertempur.
Jiwanya masih terguncang menghadapi kenyataan pahit kekalahan
pasukannya, ditambah lagi sebuah peristiwa tragis masih membekas di
pelupuk matanya. Ketika Argenta harus menyudahi duel mautnya melawan
orang yang selama ini amat disegani, seorang jenderal, panglima perang
sekaligus seorang sahabat yang selama ini menjadi atasannya. Gregorius
Theodorus, panglima Romawi yang menjadi muslim tewas di ujung pedang
bawahannya sendiri, Argenta.

"Lari, ini instruksi Kaisar Heraklius!!! Kita harus mundur ke Armenia.
Berlindung dengan pasukan panah." Margiteus resah. Topi besi yang
menutupi kepalanya melorot sepertiganya. Upaya evakuasi itu sungguh
melelahkan.

"Apa yang terjadi dengan Gregorius?"

"Dia sudah mati."

"Oh, malang benar orang itu."

Dia seorang muslim," imbuh Margiteus getir sambil mengusap-usap pedang
panjangnya.

"Hah, mustahil. Mana mungkin! Dia seorang Kristiani yang taat."

"Aku telah membunuhnya." Argenta terduduk lesu

"Cuma aku kesal dan menyesal, kenapa bisa seorang panglima ulung yang
pernah dimiliki bangsa Romawi harus mati di ujung mata pedangku."

"Siapa yang akan menggantikannya?"

"Wardan."

"Hah!!? Orang itu tahu apa tentang perang!" Argenta merasa sangat kecewa.

"Dia veteran perang wilayah tengah dulu. Kaisar Heraklius yang memberi
restu."

"Bodoh benar! Kenapa posisi strategis diberikan kepada veteran yang
sakit. Orang itu tahunya cuma bagaimana bisa kabur. Si Pengecut itu
mana mungkin mampu menahan gempuran pedang orang Islam."

Bunga-bunga api terpecik dari ranting kering yang coba disulut
Argenta. Bara api menjalar-jalar hampir menyentuh sepatu kulit
lembunya yang berdebu tebal.

"Kita pernah menaklukkan sepertiga dunia. Tapi kita kalah dari
orang-orang Khalid yang berperang tanpa baju besi. Ini salah siapa?
Merekakah yang kuat atau kita terlalu lemah!?"

"Mereka tak takut mati. Mereka menyukai mati seperti halnya kita
menyukai hidup ini."

"Kau pernah melihat Khalid."

"Pernah. Dua kali. Pertama sewaktu aku melakukan tugas pengintaian di
Parsi. Kedua saat dia bertarung dengan Gregorius sebelum dia memeluk
Islam."

"Berjanjilah atas kebenaran wahai sahabatku, Margiteus. Apakah begitu
gagah manusia bernama Khalid itu?"

"Pernahkah kau mendengar cerita para tentara Romawi mengenai kegagahan
Khalid." Margiteus tersenyum getir. Dia menghela nafas, lesu sambil
melempar pandangan jauh ke gugusun bintang-bintang yang menghias
cakrawala.

Argenta mengerutkan keningnya. Rasa ingin tahunya menyelinap ke
seluruh penjuru batok kepalanya. Menumbuhkan tanda tanya.

"Tuhan mereka telah menurunkan sebilah pedang dari langit kepada Nabi
Muhammad lalu diserahkannya kepada Khalid. Dan setiap kali Khalid
menarik pedangnya dia menjadi perwira tidak terkalahkan. Tiada lawan
yang dapat mengalahkannya sehingga mendapat gelar `Pedang Allah' dari
Nabinya."

Argenta terpana sendirian. Kagumnya menelusup mendengar cerita-cerita
yang selama ini menjadi gunjingan teman-teman seperjuangannya. Malah
menjadi igauan para kaisar di imperium Romawi.

Bagaimanakah para tentara Parsi yang berbesi pemberat di kaki, agar
mereka tidak lari dari medan perang, namun bisa hancur luluh oleh
pasukan Khalid? Dia telah menguasai jalur perniagaan di kota Tadmur
dan menguasai Qaryatain di wilayah Homs. Kemudian satu persatu wilayah
Syria jatuh ke tangan mereka. Hawarin, Tsaniat-Iqab dan Busra. Semua
lebur. Porak poranda. Hancur. Pasukan semut menumpaskan bala tentara
gajah. Musibah apakah yang tengah menimpa imperiumku ini?

"Pedang Allah, dongengmu memang hebat. Mungkin hanya aku seorang dari
ribuan pejuang Romawi yang tidak mempercayainya." Ketus Argenta
menahan amarah. Margiteus sudah bangun dari tidurnya, dia menyarungkan
pedangnya ke sisi kuda perang yang tengah asyik memamah santapan
rumput hijau. Margiteus tampak lesu. Mungkin sesuatu yang berat sedang
dipikirkan. Episode perang esok, entah apa yang akan terjadi?

***

Perang di bumi Yarmuk bertambah hebat tatkala masuk hari kedua. Ada
prestise yang perlu dipertahankan. Pasukan perang Romawi sekuat tenaga
mempertahankan Syria, wilayah kekuasaannya di sebelah timur. Sementara
para pejuang Islam membawa misi membebaskan Syria dari cengkeraman
pejajahan Romawi di samping tugas berat menyebarkan dakwah Islamiah.

Khalid dengan lantang menggelorakan semangat jihad. Semangat jihad
yang bagaikan suatu keajaiban telah dapat mengalahkan 240.000 pasukan
Romawi walau hanya dengan kekuatan 39.000 tentara Islam yang berani
berkorban demi agama mereka.

Argenta menjadi gentar dan seperti tak bernyali lagi menghadapi
kehebatan tentara Islam yang terus menggempur, menyerbu dan merangsek
bagaikan air bah yang pantang surut. Namun bukan berjiwa ksatria
namanya kalau harus menerima begitu saja kenyataan pahit itu. Tatkala
Argenta merasakan ada titik-titik kelemahan dari tentara Islam
disitulah upaya serangan balik dilakukan. Mereka menghantam sayap kiri
dan sayap kanan barisan kaum muslimin. Sementara pertempuran semakin
memanas, Margiteus seperti tak terlihat kehadirannya di sana, dia
lenyap dalam hiruk pikuk Yarmuk.

"Wahai tentara Romawi, rekan-rekanku pembela kaisar yang setia. Perang
ini adalah perang tanding satu tentara Khalid lawan enam pasukan
Romawi. Kalian bukan anak-anak Romawi kalau mati di tangan mereka yang
sedikit dan lemah itu." Argenta meniup semangat pasukannya.

Medan pertempuran semakin bergolak, kepulan debu, dentingan pedang
seakan tak pernah berhenti. Sesekali terdengar jeritan satu dua
tentera meregang nyawa, dalam erangan panjang yang memilukan. Ya!
Perang memang sesuatu yang kejam, seperti tak ada ruang untuk diberi
belas kasihan. Benarlah, dalam perang rasa kemanusiaan seakan sudah mati!

"Kaisar Heraklius melarikan diri ke Constantinople." Teriak salah
seorang tentara Romawi di tengah berkecamuknya perang itu. Laungan
teriakan itu timbul tenggelam seakan ditelan kalutnya pertempuran,
nyaris tidak diketahui dari mana asal suara itu. Hal ini menjadi
hantaman dahsyat yang meredupkan semangat juang para tentara Romawi.
Seorang Kaisar merangkap panglima tertinggi melarikan diri! Tragis!!!
Suatu tindakan sangat pengecut, setidaknya itu yang ada di benak Argenta.

Dampaknya mulai terasa, luar biasa. Tentara Romawi mulai gentar.
Mereka tidak lagi memiliki garis komando di medan tarung itu. Daya
tempur merosot drastis. Mereka mulai berhitung bila melanjutkan
perang, nyawa melayang atau menjadi tawanan tentara Islam. Akhirnya
banyak diantara mereka yang memilih undur diri. Nyawa lebih penting!

"Bukan kaisar saja yang begitu. Semua panglima sama saja. Membiarkan
tentaranya bertempur di barisan depan. Sementara mereka mengambil
posisi di barisan belakang. Mereka dapat dengan leluasa melarikan
diri. Mengapa mereka menjadi penakut seperti itu. Ingat! Kita berjuang
demi Romawi dan diri kita sendiri. Bukan demi Kaisar." Argenta
memprotes semangat pasukan Romawi yang mulai luntur.

"Jangan coba-coba durhaka kepada Kaisar. Kaisar banyak tugas yang
harus ditunaikan. Kita dalam keadaan terjepit sekarang. Tidak ada yang
mengatur strategi. Apatah lagi mendeteksi taktik musuh dan memompa
semangat para tentara. Kita terpaksa mundur juga." Sergah seorang
tentara menegur Argenta yang merasa kecewa. Rasa iba muncul dalam
dirinya. Diakui memang sukar mencari tipikal prajurit Romawi sekaliber
Argenta kini. Tapi apalah daya, sedangkan Kaisar sendiri melarikan
diri. Apalah yang diharapkan para tentara kini, yang mereka tahu hanya
menjunjung perintah. Tanpa jati diri yang teguh.

"Perhatian! Perhatian! Tentara Khalid menyerang dari belakang!"
Teriakan itu membuyarkan lamunan para tentara Romawi itu. Argenta
mulai beringsut dibelakang kuda warna coklat gelap, mencoba membalap
kuda tentara tersebut.

"Lihat di medan sana." Argenta menoleh sambil memastikan letak yang
ditunjuk itu. Dari kejauhan peperangan masih berlangsung walaupun
tidak sehebat tadi karena banyak tentara Romawi yang sudah melarikan
diri. Yarmuk bergolak lagi.

"Kenapa? Ada apa?"

"Lihatlah manusia yang paling di depan di kalangan mereka. Itulah
Khalid." Bola mata Argenta gesit membidik sasarannya. Terekam
kegagahan Khalid di kelopak matanya. Khalid sedang melaju dengan
kudanya. Paling terdepan dan paling piawai berkuda. Dia menangkis
setiap hambatan di depannya sambil melaungkan kalam Allah, mengobarkan
jihad para pejuangnya. Dia menebas leher-leher musuh. Baginya tak
mengenal kamus mundur atau pun takut. Mengapa tidak ada perwira Romawi
seperti dia?"

"Ketua mereka bertempur paling depan tetapi mengapa bukan Kaisarku
yang bertempur paling depan. Inikah yang dikatakan pembela rakyat dan
penerus imperium Romawi. Kini tidak saja terdengar kebobrokan
orang-orang Istana di Eropa, tapi juga semuanya telah menular ke
seluruh pelosok dunia. Pemerintahan Tiranik! Pemeras airmata dan darah
rakyat. Apakah ini balasan Tuhan kepada imperium Romawi?"

Tanpa sadar air mata Argenta menetes. Inilah perasaan terhina yang
baru pertama kalinya dirasakan. Kecintaannya kepada Romawi sangat
tinggi. Ketaatannya kepada Kaisar tiada berbagi. Mengapa harus dibayar
pengorbanan para tentaranya dengan sikap pengecut para atasannya. Kuda
dipacu Argenta secepat-cepatnya. Biarlah kesengsaraan ini harus
ditanggung terbang bersama deru angin. Dia pasrah. Samar-samar
terlihat kota Damascus berdiri megah. Apakah kota ini sekokoh dulu?
Argenta makin terbawa dalam lamunannya.

Pasukan Romawi kalah telak di tangan kaum muslimin. Mereka kehilangan
50,000 orang tentaranya. Rata-rata mereka mencari perlindungan di
Damascus, Antokiah dan Caesarea serta ada juga yang turut mabur
bersama Kaisar Heraklius ke Constantinople. Pertempuran sehari itu
meninggalkan satu catatan buruk dalam sejarah perang Romawi yang sulit
dihapus dalam sejarahnya. Mereka harus bertekuk lutut dengan pasukan
yang bilangannya jauh kecil dengan peralatan perang yang jauh
tertinggal dibanding mereka.

***

Pasukan Romawi semakin terdesak. Kota Damascus dengan mudah jatuh ke
pangkuan kaum muslimin. Kota itu diserbu tatkala Raja Jabala IV
mengadakan jamuan kelahiran anak lelakinya. Khalid bersama beberapa
orang tentara Islam berhasil memanjat tembok kota sekaligus membuka
pintu gerbang al-Syarqi dan al-Jabiat. Panglima Vartanius yang
mengepalai tentara Romawi di Kota Damascus terpaksa melarikan diri ke
Homs bersama sisa-sisa tentaranya. Raja Jabala IV terpaksa mengirim
utusan damai dan memilih membayar jizyah kepada kaum muslimin. Argenta
melarikan diri ke Antokiah.

"Argenta, ada surat dari sahabatmu, Margiteus," Seorang lelaki yang
telah berumur memberikan sepucuk surat kepada Argenta. Langsung wajah
Margiteus membayangi hampir seluruh pikirannya di pagi yang cerah di
Antokiah. Bukankah Margiteus sudah ditawan di Yarmuk dulu? Dia masih
belum mati?

Argenta,

Sungguh pun surat ini mungkin menimbulkan tanda tanyamu tapi
percayalah aku di sini senantiasa sehat dan sentosa di bawah lindungan
Allah.

Aku masih hidup. Aku tidak seburuk yang kau gambarkan. Aku diberi
makan sebagaimana makanan mereka. Aku tidak dikuliti atau dibelenggu
kaki dan tangan untuk diinterogasi. Mungkin dengan inilah menyebabkan
aku mengenal Allah swt yaitu Tuhanku dan juga Tuhanmu walau waktunya
mungkin sangat singkat.

Sahabatku, aku tidak dalam tekanan. Aku tidak dalam keadaan dipaksa
sebagaimana biasa dilakukan pemerintah Romawi yang menyeret paksa
rakyat dengan kuda karena menunggak pajak. Ada ketenangan di sini
sehingga aku bisa mengenal siapa sesungguhnya diriku, tujuan hidup dan
agamaku yang satu. Semuanya jelas dan terbentang indah di benak
sanubari ini.

Argenta,

Khalid tidak sekejam yang kau gambarkan. Dia mungkin keras dan garang
di medan juang. Tapi dia masih mampu mengulur roti kepada tawanan yang
tahu arti menghormati. Raut mukanya tenang menyiratkan keteduhan
jiwanya, hal itulah yang membuat siapa saja tidak menyangka kalau dia
itu Khalid, panglima Islam paling agung. Percayalah!

Kau ingat juga kan dongeng tentang Khalid? Pedang yang konon
diturunkan dari langit. Itu semua dusta. Mungkin itu hanya cerita para
penakut yang muncul dari para lawan tarungnya setiap kali berhadapan
dengan pedangnya. Pedang Khalid hanya besi yang ditempa seperti pedang
lain. Tidak ada yang istimewa. Khalid dahulu juga seperti kita. Dia
penentang Islam dan Rasulnya. Setelah mendapat hidayah dia beriman.
Gelar Pedang Allah hanyalah doa Nabi Muhammad ke atasnya bahwa dia
adalah pedang di antara sekian banyak pedang Allah, terhunus buat
menghadapi orang musyrik. Nabi Muhammad mendoakan agar Khalid
senantiasa menang di setiap perang yang diikutinya.

Argenta,

Kau tentu bertanya apa yang menyebabkan aku memilih Islam. Bukan saja
karena kebenaran ajarannya tetapi karena keluhurannya. Aku bertanya
pada Khalid. Bagaimana kedudukanku seandainya aku memeluk Islam
dibanding dengan dirinya yang sudah bertahun-tahun memeluk Islam.
Jawabannya sama saja di sisi Allah malah mungkin lebih mulia darinya
sebaik ungkapan syahadah di bibir dan diyakini di dalam hati. Aku
sungguh takjub. Sampai sebegitukah? Tanyaku mana mungkin jadi seperti
itu. Kata Khalid dia pernah hidup bersama Nabi dan menyaksikan
keajaiban dan petanda keRasulan dan kebenarannya sedangkan orang
setelahnya dapat menerima Islam walaupun tidak pernah menyaksikan dan
berjumpa dengan Baginda, maka tentunya dia lebih mulia.

Mungkin kau menuduhku sebagai pengagum Khalid. Mungkin tuduhanmu itu
benar. Tapi percayalah aku mengagumi perjuangannya bukan jasadnya.
Cintanya sangat tinggi kepada Allah dan Rasulnya. Itulah yang
membuatnya tidak gentar menghadapi musuh. Dia ingin benar mati di
medan perang. Tidak seperti kita yang sungguh takut akan kematian
karena kecintaan kepada dunia ini. Aku bertanya-tanya. Kalau begitulah
kondisi Khalid. Tentu sungguh agung sekali agama dan pegangan yang
dianutnya. Dia setia, jujur, luhur, optimis dan seorang genius perang.
Sesuatu yang sukar dicari dalam diri kita sendiri.

Argenta,

Sudilah aku menyeru kepadamu ke jalan kebenaran yang hakiki. Aku tahu
selama ini kau dibelenggu ketaatan kepada Romawi. Aku masih sayang
akan Romawi seperti juga kau. Islam tidak memisahkan kita dengan
Romawi. Islam bukannya milik bangsa Arab. Di sini aku ketemu
orang-orang hitam dari benua Afrika yang selama ini kita anggap hanya
layak mengangkat tahi para petinggi kita, atasan kita. Di sini
segalanya sama lantas inilah yang menyadarkan aku tentang arti
kemuliaan insan yang tidak kita temui di Romawi.

Kita tetap sahabat. Agamaku tidak memutuskan rasa kasihku kepadamu.
Kau tetap seorang sahabat yang akan ku kenang selagi hayat ini di
kandung badan. Cuma aku harap persahabatan ini lebih manis kiranya
dapat kau membuka hatimu menerima hidayah-Nya. Semoga Allah menemukan
kita, sahabat. Wassalam.

Margiteus

Argenta meremas surat itu di tangan. Ada kepedihan menjalar ke ulu
hatinya. Sakit dan perih. Apakah ini benteng egoisme paling tinggi
yang berusaha ditahannya atau gelombang pembelotan dari sahabat
sejatinya. Argenta mengepalkan tangan membiarkan tulang temulang
jarinya berderap.

***

Pasukan Islam menuju utara Syria yang dipertahankan Kaisar Heraklius.
Kota Homs jatuh bertekuk lutut sebagaimana pasukan Romawi di Balbek
ditumpas abis. Bertempurlah kaum muslimin di kota Aleppo yang terkenal
sangat tangguh pertahanannya selama berabad-abad. Allah menolong kaum
muslimin dengan kemenangan yang dijanjikan-Nya. Pasukan Romawi
akhirnya mundur ke benteng terakhir di Antokiah. Tentara Romawi
diperintah membuat serangan habis-habisan mempertahan kota. Mereka
digempur habis-habisan oleh pasukan Khalid.

Argenta memerah keringat di medan perang. Dia mengayunkan pedangnya
sesuka hati. Tidak berpikir lagi sabetan itu kena musuh atau kawan.
Hatinya terbagi dua. Satu sisi terbetik di hatinya kebenaran kata-kata
Margiteus tetapi egoismenya masih mengatasi segala-galanya.

"Argenta! Kuasa Allah telah menemukan kita." Argenta menoleh.
Ditatapnya manusia di hadapannya. Gagah dengan (niqob) cadar hitamnya.
Darah yang mengalir di sekitar kening menyulitkannya mengenal dengan
pasti orang bercadar itu. Pedang berukir matahari menyadarka tanda
tanya Argenta.

"Kau Margiteus"

"Apa kabar sahabatku." Margiteus tersenyum menatap sahabatnya. Argenta
merasa terpukul dengan ketenangan yang tergambar di wajah sahabatnya
itu. Nampak jelas dia bahagia sekali dengan kehidupannya kini. Penuh
keyakinan.

"Pembelot, kau mengkhianati bangsa Romawi," Argenta berusaha memancung
kepala Margiteus. Margiteus tenang menahan diri. Mereka saling beradu
pedang. Sesekali pedang mereka bersilang. Margiteus dengan tenang
terus mendakwahi sahabatnya.

"Berimanlah kepada Allah, sahabatku. Kau bis berdamai dengan pihak
Islam bila bersepakat membayar jizyah kecali bila tidak mampu
membayarnya. Kami berjanji akan memberimu perlindungan. Kau tetap
menjadi sahabatku. Romawi tetap megah bahkan akan lebih bersinar
dengan cahaya Islam."

"Diam, pembelot!" Argenta naik pitam. Mereka bertarung hingga melelahkan.

"Jangan menipu diri sendiri Argenta. Jangan mendustai hidayah yang
Allah turunkan padamu. Apakah akan kau biarkan rasa congkak dan egomu
menguasai dirimu?" Margiteus tidak putus-putus mendakwahi.

"Percayalah ucapanku. Kebenaran itu sudah kau temukan dalam dirimu.
Cuma kau masih ragu-ragu padahal dia sudah jelas di depan mata.
Lihatlah dunia yang kita arungi ini. Adakah karena Romawi megah
seperti yang kau banggakan. Adakah karena Romawi yang dibohongi dengan
mitos dan kemustahilan menyekat nur ilahi yang ada pada dirimu.
Bangunlah sahabat."

"Tutup mulutmu atau aku akan penggal kepalamu menjadi makanan
anjing-anjing Kaisar," amuk Argenta semakin menjadi-jadi. Dia seakan
tengah melawan rasa bersalah yang dipendamnya. Benarkah dia membohongi
dirinya. Kalau dia benar mengapa hatinya memberontak. Menjerit meminta
kebebasan dan kebenaran. Ah…, aku benci semua ini!

Dalam keadaan termangu-mangu pedang Argenta terdesak ke tepi. Memberi
peluang terbuka bagi Margiteus untuk menebas kepala Argenta. Argenta
terbeliak memperhatikan mata pedang Margiteus jatuh tepat di hadapan
mukanya. Tangan Margiteus menggigil. Dia berusaha mengelak dan ini
memberi peluang kepada Argenta mencuri kemenangan. Perut Margiteus
ditusuk hingga tembusi ke belakang badannya. Darah memuncraut
bersimbah ke muka Argenta. Rasa sesal menjalar merasuki naluri
Argenta. Lantas dia merangkul Margiteus yang hampir tersungkur.
Kedua-duanya melemah. Lesu.

"Lepaskan saja aku, Argenta. Uhh…. . Bukankah aku pembelot Romawi dan
mengkhianati persahabatan kita?"

"Kau dapat memancung kepala aku tadi. Mengapa tidak kau lakukan? Aku
lebih rela mati. Aku merasa sungguh bosan dan benci diriku sendiri."

"Tahukah kau dalam Islam… membunuh seorang manusia itu bagaikan
membunuh seluruh umat manusia. Kami dibenarkan membunuh orang yang
menentang agama kami secara kekerasan. Itupun kepada yang mengangkat
senjata. Tidak boleh terjadi pembunuhan terhadap anak-anak, wanita dan
orang tua serta yang uzur…. Ohhh"

"Akulah yang menentang kau dan agamamu. Mengapa kau tidak membunuhku
saja."

"Apakah ada pedang Romawi yang paling berat melainkan pedangku ini.
Pedang yang terpaksa aku jauhkan dari leher seorang sahabat sejati.
Betapa pedih kau mendustai dirimu, tapi lebih pedih lagi diriku yang
memikirkan persahabatan ini. Aku tak mampu menyisihkannya. Aku berdosa
terhadap agamaku… Allahhh…"

"Tidak, Margiteus. Agamamu adalah kebenaran yang ku cari. Cuma aku
khawatir kau sudah melupakan persahabatan kita. Aku terlalu egois. Aku
menipu diriku sendiri! Aku menipu kau wahai sahabat! Maafkan aku."

"Cukuplah kau tahu betapa dalamnya persahabatan ini. Ingatlah, dalam
Islam kemanusiaan itu tidak hilang meskipun dalam peperangan. Kita
bertemu karena Allah dan berpisah juga karena-Nya. Kalau kau
mengasihiku. Inilah aku yang kau lihat akan mati. Kalau kau mencintai
kehormatan dan kemegahanmu semua itu juga akan lenyap dan binasa. Tapi
seandainya kau mencintai Allah, Dia sesungguhnya tidak pernah mati
ataupun binasa…."

"Sungguh Margiteus. Aku bersumpah dengan nama tuhanmu. Aku beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya, Muhammad. Apakah aku akan membohongi
diriku lagi di saat kau begini..?"

Margiteus menahan perih luka tusukan pedang di lambungnya.
Dirasakannya luka tusukan itu telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia
tersenyum mendengar keimanan Argenta. Perlahan-lahan jasadnya kaku
mengiringi lafaz syahadah di mulutnya. Argenta terisak meratapi
sahabatnya. Perang dirasanya sunyi. Sepi.

Sumber: Seri Sahabat Nabi, Khalid Al-Walid & Abu Hurairah, K
Publishing & Distributors Sdn. Bhd., Kuala Lumpur, 1990

Kamis, 23 Oktober 2008

Ukhti, Yakinlah Jodohmu Kan Datang....

oleh Afrita Satya Dewi
-------------

Perawan tua!
Wuih, sadis banget…
Yup, itulah julukan yang diberikan untuk kaum
hawa yang belum menikah di usia ‘senja’. Ketika saya mengikuti sebuah
acara perlombaan anak-anak TPA di daerah Bantul, saya bertemu dengan
seorang sosok wanita yang saya pikir waktu itu adalah seorang guru yang
sekaligus ibu rumah tangga.

Tampilan sederhana dengan jilbab yang menjulur ke dadanya.
Kebetulan, kami menjadi juri pada lomba yang sama. Untuk menghindari
kekakuan, saya mencoba memperkenalkan diri dan sedikit berbincang
dengan beliau. Beliau seorang guru TK kelahiran tahun 1969.
Dengan usia
yang sekian, saya berpikir beliau telah berkeluarga dengan beberapa
orang anak. Ketika saya Tanya “putra pinten bu?” (punya anak berapa
bu?-jawa) beliau
menjawab, “dereng nikah mba, mboten payu”.(belum
menikah mba, ngga
laku-jawa)…Terkejut sekali saya waktu, ditambah rasa
bersalah kalau pertanyaan saya tadi menyinggung perasaan beliau.
Alhamdulillah, beliau tidak tersinggung malah kami bisa semakin akrab.

Sosok lain, saya teringat murobbiyah-murobbiyah saya. Di tengah
kesibukan yang ekstra padat, mereka masih meyempatkan waktu untuk
membina kami. Dari ketiga akhawat yang pernah menjadi murobbiyah saya
(selamanya akan tetap menjadi murobbiyah saya) semuanya belum menikah.
Mereka rata-rata sudah berumur 25-up. Untuk lingkungan kampus, usia
sekian tentu bukan menjadi masalah ketika belum menikah. Tetapi, ketika
pulang ke kampung halaman dengan hidup bertetangga tentu akan
menimbulkan pertanyaan yang kurang mengenakkan. Kapan nikah mba? Itu
pertanyaan yang kerapkali terdengar. Bahkan saya yang ‘baru’ berusia 22
tahun pun tidak lepas dari pertanyaan tersebut ketika saya sudah pulang
kampung. Menyegerakan menikah adalah sesuatu ayng dianjurkan. Akan
tetapi ketika jodoh belum juga datang, apakah itu sesuatu hal yang
harus dipaksakan?

Saya teringat satu nasehat dari seorang ustadz di Yogya ketika
mengikuti kajian pagi hari di Masjid Mardliyah. Beliau menyampaikan
materi pernikahan. Salah satu pesan beliau, “Jadi akhawat jangan suka
mancing-mancing ikhwan, misal dengan sms ‘koq ngga nikah-nikah akh’ dan
sebagainya”. Beliau melanjutkan ketika akhawat berkepala 2 belum
menikah itu sesuatu yang wajar. Ketika berkepala 3 belum menikah juga,
mungkin Allah masih ‘menahan’ jodoh kita. Ketika sudah berkepala 4 dan
belum menikah juga, mungkin laki-laki dunia belum ada yang ocok untuk
kita dan seterusnya. Beliau menambahkan agar kita tidak berburuk sangka
terhadap Allah.

Benar sekali, di tengah penantian panjang yang belum tahu kapan
berujung tidak sedikit akhawat yang mulai putus asa. “Apa karena aku
yang kurang cantik?” dan pertanyaan-pertanyaan retorik sejenis yang ada
di kepala akhawat muslimah. Akhirnya, mereka mulai melakukan treatment
untuk menjaga penampilan. Mereka tidak lagi enggan merogoh kocek hanya
sekedar untuk antri di salon berjam-jam. Akibatnya, dana infak
berkurang, jadwal dakwah terabaikan dan banyak sekali konsekuensi yang
harus ditanggung ketika memutuskan untuk menjadi wanita yang ‘berbeda’.

Pola pikir akhawat yang seperti ini, bukan 100% kesalahan mereka.
Kalau mau jujur, berapa banyak ikhwan yang ridho beristri akhawat
‘biasa’. Kebanyakan kaum ikhwan tentu akan pilih-pilih wanita untuk
menjadi pendamping hidupnya. Amat disayangkan, sebab yang menjadi
kriteria bukan sekedar agamanya yang oke, tapi juga harus cantik,
putih, lulusan fakultas kedokteran (bukan karena saya alumni fakultas
kehutanan lho…) dan seterusnya. Itu adalah sesuatu yang manusiawi
tentunya, tapi tidak sedikit dari mereka yang tidak melanjutkan proses
ta’aruf hanya karena salah satu kriteria duniawi itu tidak terpenuhi.

Jodoh, rezeki dan semua yang kita alami adalah atas kehendakNya.
Ketika saya silaturrahim ke rumah seorang ustadzah di Boyolali, beliau
berpesan tsiqoh saja terhadap Allah Karena pasti ia akan memeberi yang
trebaik untuk hambanya. Saya jadi teringat pada Q.S Al-Baqarah ayat 216
“…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu,
dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk
bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.

Untuk para ukhti sholihah, yakinlah jika saatnya tepat “pangeran berkuda putih” itu akan datang menjemputmu.

Teristimewa untuk mba-mba-koe: semoga Allah segera mengaruniakan ikhwan sholeh untuk antuna.

sumber:eramuslim.com

Rabu, 22 Oktober 2008

Mengenal Sosok Muda Imam Hasan Al-Banna

Nama "Hasan Al-Banna" selalu lekat dengan jamaah Al-Ikhwan
Al-Muslimun, karena beliau adalah pendiri dan menjadi Mursyid 'Am
pertama jamaah tersebut. Sekalipun sang imam "Al-Banna" -semoga Allah
merahmatinya-, tidak mengenyam kehidupan lebih dari 42 tahun, namun
pada masa hidupnya banyak memberikan kontribusi dan prestasi yang
besar sehingga banyak terjadi lompatan sejarah terutama dalam
melakukan perubahan kehidupan umat menuju Islam dan dakwah Islam yang
lebih cerah, banyak perubahan-perubahan yang dicapai olehnya, apalagi
saat beliau hidup kondisi umat dalam keadaan yang begitu parah dan
mengenaskan, keterbelakangan, ketidakberdayaan, kebodohan umat, dan
ditambah dengan penjajahan barat.

42 tahun kalau diukur dari perjalanan sejarah merupakan waktu yang
singkat, merupakan usia yang belum bisa memberikan apa-apa, walaupun
umur sejarah tidak bisa diukur berdasarkan tahun dan hari, namun dapat
juga diukur dari banyaknya peristiwa yang berdampak pada perubahan
kondisi, situasi dan keadaan, dan inilah yang selalu melekat pada
sosok Hasan Al-Banna, beliau banyak memberikan pengaruh dalam
perubahan sejarah, dan beliau juga merupakan salah satu dari orang
yang memberikan kontribusi melakukan perbaikan dan perubahan dalam
tubuh umat. Sekalipun umur beliau relatif pendek namun beliau termasuk
orang yang mampu membuat sejarah gemilang.

Setiap orang pasti memiliki faktor yang dapat dinilai mampu memberikan
kontribusi dan saham dalam pembentukan karakter dan jati dirinya dan
menentukan berbagai hakikat yang dipilihnya. Dan bagi pemerhati
lingkungan yang di dalamnya hidup sang imam Al-Banna akan dapat
menemukan awal yang baik, dan karena itu berakhir dengan baik. Seperti
dalam ungkapan: "Akhir yang baik mesti diawali dengan permulaan yang
baik".

Dan imam Al-Banna kecil (muda) hidup dibawah naungan dan lingkungan
yang bersih dan suci. Dan rumah yang di dalamnya hidup sang imam juga
merupakan rumah yang tershibghah dengan shibghah islam yang hanif.
Orang tuanya bernama syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Bann. Beliau adalah
seorang imam masjid di desanya, dan seorang tukang reparasi dan
penjual jam. Namun disisi lain orang tuan Hasan Al-Banna adalah sosok
pecinta ilmu dan buku, sehingga senang menuntut ilmu dan membaca buku,
dan sebagian waktunya banyak dihabiskan untuk membaca dan menulis, dan
beliau juga banyak menulis kitab, diantaranya adalah "Badai'ul Musnad
fi Jam'I wa Tartiibi Musnad As-Syafi'I", "Al-Fathu Ar-Robbani fi
Tartiibi Musnad Ahmad As-Syaibani", "Bulughul Amani min Asrori
Al-fathu Ar-Robbani"

Bahwa komitmen dengan Islam dan manhaj robbani sangat membutuhkan
pondasi utama pada lingkungan yang menggerakkannya, agar dapat tumbuh
dan besar seperti pondasi tersebut, dan jika tidak ada lingkungan yang
mendukung maka akan menjadi sirna dan mati sejak awal kehidupannya.
Dan Allah telah memberikan karunia besar terhadap imam "Al-Banna"
dengan lingkungan yang baik ini. Orang tuanya memberikan tarbiyah
sejak awal dengan baik; meumbuhkan kecintaan terhadap Islam kepada
anaknya sejak dini, selalu memelihara bacaan dan hafalan Al-Qur'an,
sehingga memberikan kepada pemuda tersebut waktu dan tenaga yang cerah
dalam berfikir dan berdakwah, dan pada saat itu pula ­yang mana pada
saat itu- Islam telah tertutupi oleh kehidupan yang bebas dan politik
yang rusak, tampak menjadi asing ­bahkan aneh dan tidak wajar- melihat
seorang pemuda yang begitu besar komitmennya terhadap ajaran Islam
sampai pada masalah waktu, atau dalam menunaikan ibadah shalat dengan
penuh kedisiplinan.

Sejak awal dapat kita lihat bahwa imam Al-Banna telah menentukan
jalannya dan karakter hidupnya; yaitu jalan hidup yang beliau
lakoninya dalam kehidupannya secara pribadi yang unik; komitmen
terhadap Islam dan manhaj robbani dan interaksinya dengan orang lain
dengan baik dan sesuai dengan ajaran Islam. Baliau begitu terkesan
dengan hadits Nabi dan begitu kuat berpegang teguh dengannya; yaitu
hadits Nabi saw: "Jagalah lima perkara sebelum datang lima perkara..
diantaranya adalah "masa mudamu sebelum datang masa tuamu", begitupun
dengan hadits Nabi saw lainnya: "ada tujuh golongan yang akan
mendapatkan naungan Allah pada saat tidak ada naungan kecuali
naungannya.. diantaranya adalah "seorang pemuda yang taat beribadah
kepada Allah".

Maka dari itu imam "Al-Banna" kehidupannya adalah islam dan tidak ada
yang lain dalam diri dan hidupnya kecuali Islam. Hal itu tampak juga
dengan jelas pada beberapa lembaga atau yayasan yang sejak kecil
beliau loyal kepadanya, yang kesemuanya merupakan lembaga atau yayasan
Islam, seperti "Jam'iyyah As-Suluk wal Akhlak" dan "Jama'ah An-Nahyu
Al-Munkar", dan beliau juga memiliki hubungan yang erat dengan harakah
sufiyah yang pada saat itu marak tersebar di berbagai pelosok daerah
dan kota di Mesir.

Adapun diantara faktor lain yang membantunya komitmen di jalan
kebenaran adalah karena beliau begitu banyak beribadah dan taat kepada
Allah, sejak mudanya beliau sering melakukan puasa sunnah, khususnya
puasa sunnah yang berhubungan dengan hari-hari besar Islam, dan lebih
banyak lagi beliau melakukan puasa hari sunnah senin dan hari kamis
pada setiap minggunya, karena mentauladani sunnah nabi saw,
sebagaimana beliau juga sangat bersemangat melakukan puasa sunnah
rajab dan sya'ban. Kebanyakan dari kita mungkin merasa asing dalam
melakukan ketaatan seperti itu, atau merasa berat melakukannya
terutama di saat kondisi zaman seperti ini. Sebagaiman usaha yang
dilakukan imam Al-Banna dalam ketaatan juga menadapatkan kesulitan,
terutama disaat kondisi yang saat itu dialami; adanya gerakan
missionaries, globalisasi dan penjajahan yang telah meluas dan
merambah dengan cepat di tengah kehidupan masyarakat Mesir saat itu;
sehingga memberikan kontribusi yang besar dalam menjauhkan umat dari
Islam apalagi untuk komitmen dengan ibadah dan ketaatan.

Namun imam Al-banna, hidup melawan arus, beliau berada dalam semangat
Islam yang tinggi, berpegang dengan ketaatan dan ibadah kepada Allah,
sekalipun umat saat itu sedang diliputi arus globalisasi dan
pencampakkan jati diri Islam; sehingga mengakibatkan acuhnya umat
terhadap Islam dan jauhnya umat ­terutama para pemudanya- dari
kehidupan beragama, apalagi juga banyaknya bermunculan seruan dan
propaganda asing terhadap dunia Islam seperti liberalisme dan
komunisme serta gerakan missionaris yang mengajak untuk jauh dari
Islam dan berlaku hidup modernis seperti mereka.

Sekalipun demikian imam Al-Banna tetap berpegang teguh dan yakin
dengan keislamannya bahkan merasa bangga dengannya. Dan pada saat
berdiri Universitas Cairo, dan Dar El-Ulum merupakan salah satu bagian
dari kuliah yang ada di dalamnya; yang di dalamnya menghadirkan
ilmu-ilmu kontemporer, ditambah juga dengan ilmu-ilmu syariah dan
pengetahuan tradisional yang telah masyhur di Universitas Al-Azhar
sebelumnya. Dan -pada saat itu pula- Imam Al-Banna mendaftarkan diri
untuk kuliah di Dar El-Ulum, walaupun beliau tidak merasa cukup dengan
ilmu yang di dapat di kuliah sehingga beliau mencarinya ditempat yang
lain sebagai tambahan; seperti beliau selalu hadir mengikuti majlis
ilmu pimpinan syaikh Rasyid Ridha, dan beliau sangat terkesan dengan
tafsirnya yang terkenal yaitu "Al-Manar".

Namun hal tersebut tidak menghalangi dirinya mendapatkan nilai yang
begitu baik dan cemerlang, sehingga beliau berhasil menamatkan
kuliahnya dengan hasil yang gemilang, dan beliau merupakan angkatan
pertama kuliah tersebut. Lalu -setelah itu- beliau diangkat sebagai
guru pada madrasah ibtidaiyah disalah satu sekolah yang terletak di
propinsi Ismailiyah, yaitu pada tahun 1927, dan di kota tersebut Imam
Al-Banna muda tidak hanya terpaku pada jati dirinya sebagai guru
madrasah ibtidaiyah, namun beliau juga menjadi da'i kepada Allah, yang
pada saat itu masjid-masjid disana kosong dari pemuda. Sehigga tidak
ada anak-anak muda yang sholat di masjid namun asyik dengan minuman
alkohol yang memambukkan. Maka tampaklah beliau sebagai seorang pemuda
yang ahli ibadah, taat kepada Allah dan sebagai da'i kepada Allah yang
mengajak umat untuk kembali pada Islam yang hanif.

Dan di kota Ismailiyah pula Imam Al-Banna banyak melakukan interaksi
dengan lembaga-lembaga Islam dan beliau tampil sebagai da'i dengan
berbagai sarana yang dimiliki dan berkeliling ke berbagai tempat dan
desa. Beliau pergi sebagai da'i dan membawa kabar gembira tentang
agama Islam. Beliau menyeru dan mengajak manusia yang berada
tempat-tempat perkumpulan mereka, dan diatara tempat perkumpulan yang
sering belaiu datangi adalah café. Disana beliau memberikan kajian
keagamaan, terutama pada sore hari ini, sehingga dengan kajian yang
beliau sampaikan banyak menarik perhatian sebagian besar masyarakat
pengunjung cafe; sehingga menjadikan pemilik café tersebut
berlomba-lomba mengundang Imam Al-Banna untuk memberikan kajian sore
di café-cefe milik mereka. Dan akhirnya di kota Ismailiyah ­dengan
taufik dari Allah- dan dengan keberkahan akan juhud dan keikhlasannya,
Imam Al-Banna mampu mengeluarkan cahaya dakwah terbesar dan memberikan
pengaruh yang sangat besar hingga saat ini. Yaitu berdirinya Gerakan
Al-Ikhwan Al-Muslimun yang dipimpin langsung oleh Imam Al-Banna.
Padahal saat itu umur beliau masih muda sekali, baru mencapai antara
tidak terlalu muda, tidak baya dan juga tidak terlalu tua. Pemuda yang
ahli ibadah itulah yang telah mampu mendirikan gerakan dakwah Islam
terbesar di dunia saat ini.

Sosok Imam Al-Banna memiliki banyak keistimewaan, sosok yang universal
dan seimbang, pemuda aktivis, seorang khatib yang antagonis, memiliki
perasaan yang lembut, dan komunikatif dengan semua orang; baik dengan
orang awam, petani dan buruh. Beliau juga seorang cendekiawan yang
memiliki ilmu, yang mampu berinteraksi dengan para cendekiawan
lainnya. Saat berada ditengah umat manusia, banyak yang takjub
kepadanya baik dari kalangan cendekiawan, hartawan, awam, petani dan
buruh serta yang lainnya. Ini semua sejalan dengan dakwahnya yang
didasarkan pada pembentukan umat, dakwah dan individu yang seimbang
dalam berbagai sisinya.

Dan Imam Al-Banna juga sangat memiliki karakter yang mampu memberikan
pengaruh pada orang yang ada disekitarnya, hal ini kembali pada
pondasi yang beliau miliki yaitu kedekatan diri kepada Allah -Kita
berharap demikian dan kita tidak merasa paling suci kecuali hanya
Allah-. Dan kita temukan bahwa dakwah Al-Ikhwan ­dan Al-Ikhwan itu
sendiri- telah terpengaruh dengan sosok imam Al-Banna; karakternya
yang baik, ikhlas dan taat kepada Allah, yang kesemuanya bersumber
pada cahaya kenabian. Sebagaimana beliau juga memiliki sosok yang
mumpuni dan lemah lembut, selalu perhatian dan menolong orang-orang
yang mazhlum, dan dalam sejarahnya telah banyak disaksikan bahwa usaha
dan kerja al-ikhwan di berbagai tempat, daerah dan negara selalu
membela hak-hak umat Islam yang terampas.

Oleh karena itulah bagi kita dapat mengambil ibrah dari perjalanan
sosok pemuda yang berhimpun di dalamnya jiwa yang memiliki nilai-nilai
mulia dan agung, bagaimana jiwa tersebut dapat mampu membangun
generasi yang islami, tidak menyimpang dari jalan Allah dan menepati
dan menunaikan amanah yang diembannya dengan optimal dan baik,
sekalipun kondisi, ujian dan cobaan yang dihadapi selalu datang silih
berganti dalam rangka berpegang teguh pada jalan Allah dan agama Islam
serta dalam usaha meninggikan kalimat (agama) Allah dan mentauladani
sirah nabi saw.

Sumber: www.ikhwanonline.com

Senin, 20 Oktober 2008

Maafkan Aku Istriku...

Emak, saya dibesarkan oleh Emak dengan penuh perhatian. Emaklah yang memandikan
saya dan adik-adik hingga saya mampu untuk mandi sendiri. Saya dan adik-adik
hanya berbaris di depan sumur lalu Emak menguyur tubuh kami dengan ember yang
berisi air yang ditimba dari dalam sumur.

Emaklah yang memakaikan seragam sekolah hingga menyuapi sarapan pagi. Saya hanya
tinggal buka mulut, suapan tangan Emak pun masuk ke mulut saya. Lalu Emak akan
mengantar kami ke sekolah. Setelah itu Emak kembali ke rumah untuk mengurus Bapak.

Bapak, saya tak pernah dekat dengan Bapak. Bukan karena Bapak saya orang jahat.
Bukan karena saya tak pernah mencurahkan gundah di hati saya. Bukan karena Bapak
tak pernah memeluk saya dengan hangat. Bukan karena Bapak tak pernah tertawa
dengan gurau yang saya lontarkan.

Entahlah hati saya merasa jauh dari Bapak. Kami memang saling menyapa, tetapi
semua itu hanya basa-basi. Saya dan Bapak tidak pernah berbicara mengenai
perasaan kami. Saya tak pernah mendengar ungkapan cinta dari bibir Bapak. Saat
Bapak memeluk, saya merasa dipeluk oleh mahluk asing. Hambar, tak ada gejolak.

Berbeda ketika Emak memeluk saya. Saya merasa begitu damai dan aman. Saya
seperti mendengar nyanyian merdu dari dalam dadanya. Tubuhnya begitu hangat
membuat saya betah berlama-lama dalam pelukan Emak sehabis mandi pagi.

Pada Emaklah saya banyak bercerita. Tentang sekolah dan teman-teman saya. Juga
saat pertama kali saya suka pada teman wanita saya. Emak mengajarkan saya banyak
hal. Tetapi Emak tak pernah mengajarkan saya pekerjaan rumah. Emak bilang itu
pekerjaan perempuan.

Bapak, tak pernah mengajari saya. Bapak memberikan hadiah sepeda tetapi tidak
mengajari saya naik sepeda. Bapak membelikan saya kelereng, tetapi tidak
mengajari saya cara menggunakannya. Bapak membelikan saya layangan tetapi tidak
menemani saya bermain layangan. Hanya Bapak sering berkata bahwa saya tidak
boleh cengeng. Lelaki tidak boleh menangis. Jadi laki-laki harus kuat dan tegar.

Saya sering memperhatikan Emak mencuci piring. Melihat busa yang dihasilkan oleh
sabun colek yang Emak pakai. Saya ingin membantu Emak agar saya dapat bermain
dengan sabun tersebut. Tetapi Emak melarang saya, malah Emak meminta saya untuk
bermain layangan dengan teman-teman saya di depan rumah.

Saya ingin membantu Emak di dapur, tetapi lagi-lagi Emak berkata itu pekerjaan
perempuan. Malang sekali perempuan, pikir saya saat itu. Apalagi saya tak pernah
melihat Bapak membantu Emak mengurus kami ataupun membantu Emak di rumah.
Semuanya dilakukan oleh Emak. Kata Emak karena Bapak sudah capek bekerja mencari
uang, lagi pula semua itu tugas perempuan.

Suatu ketika saat bermain kelereng saya berkelahi dengan seorang anak lelaki
seusia saya. Tetapi badannya lebih kecil. Saya pukul dia hingga badannya babak
beluk. Teman-teman saya tidak ada yang memisahkan kami. Bahkan mereka
menyemangati kami. Hingga akhirnya Bapak anak yang saya pukul datang lalu
memisahkan kami.


"Anak siapa kamu?! Anak kurang ajar! Dimana Ibumu?!" Lelaki itu menghardik saya.
Lalu membawa saya pulang. Dia pun menghardik Emak. Katanya Emak tidak becus
mengurus dan mendidik saya hingga saya menjadi anak kurang ajar. Rasanya saya
ingin menghajar lelaki tersebut yang berani memaki Emak.

Kasihan Emak. Sejak saat itu saya tak nakal lagi. Saya tak ingin Emak yang
disalahkan karena kenakalan saya. Tak ingin Bapak marah pada Emak karena
perbuatan saya.

Saya mulai beranjak remaja, di sekolah saya sering menjadi juara kelas. Bapak
datang mengambil rapor saya. Bapak dipuja oleh kepala sekolah dihadapan orangtua
yang lainnya. Saya pun bertanya dalam hati, mengapa Bapak yang dipuja ketika
saya berprestasi. Bukankah Emak yang telah mengajari saya?

Setamat SMA saya melanjutkan kuliah di kota lain. Saya mulai aktif di kegiatan
masjid. Saya mulai belajar tentang agama saya. Juga mengenai peran perempuan
yang sebenarnya. Tidak seperti yang selama ini saya dapat dari Emak. Dan Emak
mendapatkannya dari nenek saya.

Ketika musim libur saya kembali ke rumah. Di rumah Emak mengurus saya sama
seperti saya waktu kecil. Saya ingin menolaknya. Tetapi setiap kali melihat
kebahagian di mata Emak saat menghidangkan makanan di hadapan saya, keinginan
tersebut lenyap. Begitu juga saat saya ingin membantu Emak membersihkan rumah.
Emak melarang saya dan meminta saya duduk di serambi rumah dengan Bapak. Hati
saya merasa tak nyaman melihat Emak bekerja sementara Bapak hanya duduk sambil
menghisap rokok ditemani secangkir kopi.Tetapi saya tak bisa berbuat apa-apa.
Saya pun memenuhi permintaan Emak duduk di sebelah Bapak, tetapi kami hanya
saling membisu. Seperti dua mahluk yang berbeda, tak tahu harus berkata apa.

Setelah saya selesai kuliah, saya pun menikah dengan teman kuliah saya yang
berasal dari kota yang sama. Seperti Emak, isteri saya mengurus saya dan rumah
dengan baik. Walaupun dia juga bekerja sebagai karyawati di sebuah perusahaan.
Saya mulai merasakan sesuatu yang salah dalam diri saya. Rasanya saya sudah
terbiasa hidup dilayani. Saya sudah terbiasa hidup seperti raja, walaupun saya
tahu itu tidak benar. Seharusnya saya membantu isteri saya di rumah, tetapi saya
tidak terbiasa untuk itu. Dari kecil saya tidak dilatih untuk mengerjakan
pekerjaan rumah.

Isteri saya tidak pernah mengeluh, walaupun saya tahu tubuhnya sangat letih. Dia
selalu berkata ingin menjadi isteri yang baik. "Isteri harus berbakti dan
melayani suami," pesan ibu mertua pada isteri saya.

Saat anak pertama saya lahir, ada rasa bahagia dan takut dalam diri saya.
Entahlah saya takut tak dapat mendidiknya dengan baik. Apalagi saya tak pernah
melihat Bapak mengajari kami ataupun menasehati kami tentang kehidupan. Saya tak
tahu harus mencontoh siapa dalam mendidik putra saya.

Setelah melahirkan, isteri saya tinggal di rumah, mendapat cuti dari kantornya.
Dia pun merawat bayi kami dengan baik. Malam hari ketika bayi kami menangis,
isteri saya berusaha menenangkan tanggisan tersebut. Bayi kami dibawa keluar
kamar. Isteri saya tak ingin tidur saya terganggu dengan tanggisan tersebut.
Ketika saya ingin menenangkan bayi kami, isteri saya meminta saya kembali tidur.
Dengan alasan besok saya harus masuk kerja, sedangkan dia tak perlu ke kantor.
Saya pun menurut, lagi pula saya memang ngantuk. Saya tak pernah berusaha
meyakinkan isteri saya. Mungkin karena ada perasaan aneh saat saya harus
mengurus bayi, atau karena saya sudah merasa keenakan dengan kebaikan isteri saya.

Isteri saya telah habis masa cutinya, tetapi perhatian pada bayi kami tidak
berkurang. Dia tetap memberikan ASI. Saat pulang dari kantor isteri saya datang
membawa ASI yang disimpan dalam botol-botol kecil. Walaupun isteri saya harus
lembur tak lupa dia dengan kebutuhan bayi kami.

Hari itu, isteri saya pulang terlambat. Saya sudah terlelap tidur saat dia
datang. Sedangkan bayi kami diurus oleh pengasuhnya sampai isteri saya datang.
Isteri saya kembali ke rumah dalam keadaan sangat letih. Bayi kami menangis
malam itu. Seperti biasa isteri saya bangun untuk menenangkan bayi kami. Tidak
seperti biasanya malam itu isteri saya membiarkan bayi kami tetap berada di
kamar sedangkan dia keluar untuk mengambil botol susu.

Saya baru saja akan terlelap dalam mimpi ketika saya mendengar teriakan dan
dentuman dari arah tangga rumah kami. Segera saya loncat dari tempat tidur
menuju suara tersebut. Jantung saya berpacu cepat seketika saat melihat di bawah
tangga isteri saya tergeletak tak bergerak. Saya berusaha membangunkannya tetapi
dia tidak juga bergerak. Rupanya ketika dalam keadaan letih, ngantuk dia
berjalan dalam ruangan gelap menabrak ujung tangga dan terpeleset jatuh.
Kepalanya menghantam tangga hingga ke lantai satu.

Setelah tak sadarkan diri selama lima hari, isteri saya pun pergi menghadapNya.
Saya hanya dapat menyesali diri. Saya menyesal tidak membantu isteri saya dalam
mengurus bayi kami malam itu. Padahal saya bisa memberikan ASI dalam botol
tersebut. Saya tahu tugas sayalah melindungi isteri dan bayi kami. Tetapi
mengapa saya ragu? Kini saya tak tahu bagaimana merawat dan membesarkan bayi.
Bagaimana mendidiknya kelak. Saya tak pernah punya contoh. Isteriku, maafkan
aku. (BR)

Sumber : eramuslim.com

Jumat, 17 Oktober 2008

Belajar Merasa

"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui" (QS 2:115)


Suatu ketika Nasruddin bermimpi melayang-layang di luar angkasa bahkan dia tidak bisa membedakan mana bumi atau planet lain semuanya tampak seperti kilauan bintang di kejauhan, Nasruddin bingung menetukan waktu sholat karena dia tidak bisa membedakan antara siang dan malam dan dia juga tidak tahu harus menghadap kemana , dia seperti berputar dalam symphoni jagat raya tanpa tepi, " kemana arah yang mesti aku tuju untuk sujud kepadamu ya Rabb, karena aku seperti berada dalam genggaman keagunganmu yang tak berbatas, tak lagi mengerti hari ini , kemaren atau esok lusa , semua seperti sama ", tiba-tiba Nasruddin merasa terlempar jauh dan dia terbangun setelah jatuh dari tempat tidur " ah maafkan aku ya Rabb ternyata aku harus kembali membatasi mu wahai Tuhanku di pojok-pojok mihrab dan dinding-dinding batu ketika aku sujud nanti"

Indra yang kita miliki selain bermanfaat untuk berinteraksi dengan dunia luar, juga sering menipu kita tentang realitas dunia luar tersebut, langit yang kita kira berwarna biru ternyata hanyalah pantulan cahaya, bumi yang kita kira diam ternyata berputar menyamai kecepatan peluru sehingga kita menyadari bahwa selain di batasi oleh indera kita juga di batasi oleh ilmu pengetahuan sebagai contoh kita buat dalam logika bahasa pernyataan berikut ini "orang yang tidak tahu bentuk gajah hampir sama dengan orang yang tidak pernah melihat gajah" dan ketika pengetahuan di perolah maka pernyataannya menjadi " orang yang pernah melihat gajah belum tentu pernah bertemu gajah " walaupun hampir sama tapi jelas berbeda.

Tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa tidak banyak yang berubah dari ilmu pengetahuan kecuali dari sudut mana kita melihat dan menggalinya. Informasi yang di sisipkan berulang-ulang bisa merubah cara pandang kita, sebagai contoh rasa takut atau geli terhadap kecoa, atau ulat atau tikus karena informasi yang kita terima mengatakan bahwa kecoa itu binatang yang menakutkan atau menggelikan, sebaliknya anak yang berusia satu sampai dua tahun yang belum mendapatkan informasi tersebut tidak merasa takut atau geli bahkan ada yang menggigit dan meremasnya. Lalu apa sebenarnya rasa takut ?

Sifat ikhsan tidak akan pernah diperolah selama otak kita belum memuat endapan ketauhidan mengenai Allah Subhanahu wa Ta'ala, kita baru mengenal Allah lewat indera seperti mata dengan membaca telinga dengan mendengar nasehat-nasehat, pengajian-pengajian, tetapi kita belum mengenal Allah lewat hati kita, sebagai contoh kita mengenal presiden kita dari melihat di media cetak mendengar apa yang beliau perbuat bagi kita rakyatnya dan ketika orang lain bertanya mengenai president kita akan bisa memberikan informasi dengan baik tetapi apakah sama perasaan kita terhadap president dengan perasaan kita kepada ibu ? tentu tidak karena sehebat apapun pengetahuan yang kita peroleh mengenai president dan apa-apa yang telah dia perbuat untuk rakyatnya tidak bisa menyamai rasa yang ada di dada terhadap ibu , karena muatan emosi kita terhadap president mungkin ada tetapi tidak terlalu kuat untuk membuat kita perduli.

Merasa hebat karena telah banyak mengumpulkan informasi mengenai keislaman dan ketauhidan memang boleh -boleh saja tetapi lebih hebat jika informasi atau ilmu pengetahuan tersebut menjadikan kita lebih bisa merasa.


Salam

David

Jangan Menaruh Telur Dalam Satu Keranjang

Oleh : Alihozi
Http://Alihozi77.blogspot.com

Bagi orang yang pernah belajar ilmu manajemen keuangan istilah "
Jangan Menaruh Telur Dalam Satu Keranjang " merupakan hal yang tidak
asing lagi. Istilah ini digunakan untuk mengingatkan kita untuk tidak
menginvestasikan uang atau kekayaan kita hanya pada satu lembaga
keuangan saja seperti menabung di satu bank dan juga tidak
mengivestasikan uang atau kekayaan hanya pada satu non lembaga
keuangan seperti investasi pada satu perusahaan komoditas. Karena
apabila kita hanya meginvestasikan uang kita hanya pada satu lembaga
keuangan saja termasuk pada satu lembaga keuangan yang memakai system
syariah, dan lembaga keuangan tsb mengalami kerugian yang besar atau
di rush oleh nasabahnya maka kita akan kehilangan seluruh uang dan
kekayaan kita tsb

Walaupun istilah itu sudah dikenal banyak oleh anggota masyarakat kita
, hal ini mulai dilupakan oleh orang-orang yang hanya ingin
mendapatkan hasil yang besar dengan mengabaikan tingkat resiko yang
akan terjadi. Seperti ada kisah nyata seorang pensiunan pegawai yang
terkena stroke lalu meninggal setelah mendengar bahwa seluruh uang
pensiunannya yang diinvestasikan di salah satu perusahaan agrobisnis
dibawa kabur oleh pemilik perusahaan tsb

Allah,SWT berfirman di dalam Al-Qur'an :
"…Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang
akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui
di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal". (Luqman :34).
Pada ayat tsb Allah,SWT mengingatkan kepada kita bahwa tidak ada
seorang manusiapun yang bisa memastikan apa yang akan terjadi pada
hari esok , kita tidak bisa memastikan apakan suatu investasi keuangan
itu pasti untung atau rugi.

Kita juga tentu masih ingat waktu krisis moneter tahun 1997-1998 yang
berimbas kepada krisis perbankan melanda tanah air, suku bunga
perbankan mencapai 70%. Walaupun suku bunga sudah mencapai setinggi
itu, tetap saja waktu itu para nasabah bank konvensional banyak yang
kehilangan kepercayaan kepada dunia perbankan sehingga ingin melakukan
penarikan dana tabungan besar-besaran dari perbankan nasional.

Kalau pemerintah waktu itu tidak turun tangan memulihkan kepercayaan
terhadap perbankan nasional dengan memberikan bantuan finansial
seperti program BLBI dan program Rekapitalisasi , niscaya semua
nasabah perbankan konvensional tsb tidak akan bisa menarik dananya
kembali dari perbankan.

Pada saat ini dimana sedang terjadi krisis financial global, alangkah
baiknya kita kembali untuk mempraktekan istilah "Jangan Menaruh Telur
dalam Satu Keranjang", dan kita kembali untuk menginvestasikan uang
dan kekayaan kita tidak hanya pada satu lembaga keuangan akan tetapi
mengeinvestasikannya kepada beberapa lembaga keuangan atau beberapa
perusahaan non lembaga keuangan yang mempunyai reputasi dan kinerja
yang baik Selain itu juga kita dalam memanage keuangan agar kembali
kepada ajaran Al-Qu'ran dan Sunnah (baca juga artikel saya yang
berjudul: "Manajemen Keuangan Islami") agar tidak mengalami kerugian
dunia dan akhirat.
Wallahu'alam
Al-Faqir

Silaturahim: Biarkan Hadiah Bicara

Oleh: Muhammad Nuh


dakwatuna.com - "Sambunglah orang yang memutus silaturahim denganmu.
Berilah hadiah kepada orang yang enggan memberimu. Dan jangan hiraukan
orang yang menzalimi kamu." (HR. Ahmad)

Jangan biarkan kebencian berkelanjutan

Selalu saja ada sisi positif dan negatif sebuah interaksi. Positif
ketika interaksi memunculkan rasa cinta dan sayang, kuatnya
persaudaraan, tolong menolong sesama mukmin. Dan negatif, saat
interaksi meletupkan bunga-bunga api kekecewaan. Kebencian pun tak
terelakkan.

Kebencian karena persoalan teknis semisal salah paham, emosi dadakan,
mestinya hanya bertahan beberapa hari. Karena prinsipnya setiap mukmin
punya satu ikatan: akidah Islam. Sehingga persoalan teknis di lapangan
bisa cair sendiri bersama waktu dan kesibukan. Setelah itu, muncul
lagi kerinduan.

Namun, begitulah setan. Emosi yang labil menjadi alat efektif pintu
setan untuk mengobrak-abrik persaudaraan. Sesama mukmin menjadi
marahan. Bahkan, pada dosis tertentu, marahan bisa diwariskan ke anak
cucu. Na'udzubillah. Rasulullah saw. bersabda, "Cinta bisa
berkelanjutan (diwariskan) dan benci pun demikian." (HR. Al-Bukhari)

Putus persaudaran bukan hanya dilakoni para pelaku. Tapi, bisa
diwariskan dari generasi ke generasi. Suatu hal yang mestinya tidak
mungkin terjadi dalam diri seorang mukmin.

Siram api dengan air, bukan dengan api

Jika marah diibaratkan sebagai api, maka airlah yang paling cocok agar
api segera padam. Tidak mungkin api akan padam dengan api. Dan air
adalah perumpamaan yang pas buat silaturahim.

Sekeras apa pun sebuah kebencian, boleh jadi rapuh dengan beberapa
celah kasih sayang dan sentuhan persaudaraan. Orang yang diumbar marah
dan benci sebenarnya sangat membutuhkan perhatian. Tidak jarang,
kebencian bisa luluh hanya dengan perhatian dan sapaan yang tulus.

Banyak kisah menarik di masa Rasulullah saw. tentang hal itu. Abu
Sufyan mungkin orang yang paling sadis permusuhannya dengan Rasul.
Siang malam, dia mengatur siasat bagaimana menghancurkan Rasulullah
dan umat Islam. Tapi, justru Abu Sufyanlah yang paling mendapat
kehormatan dari Rasul ketika Mekah diambang penaklukan. "Siapa yang
masuk ke masjidil haram mendapat keamanan. Dan siapa yang berkumpul di
rumah Abu Sufyan, juga mendapat keamanan." Begitulah kira-kira
pengumuman Rasul kala itu.

Bayangkan, seperti apa hati Abu Sufyan mendengar itu. Bingung, takjub,
dan akhirnya luluh seratus persen. Dia pun berbalik menjadi orang yang
siap membela perjuangan Rasulullah saw. di Mekah dan sekitarnya.
Sungguh sebuah cara meluluhkan kebencian yang paling efektif tanpa
menimbulkan kebencian baru.

Hadiah sebagai pelunak kekakuan

Ketika kles terjadi, yang mendominasi diri setelah itu adalah ego.
Diri merasa paling benar, paling mampu, dan sebagainya. Kekakuan pun
muncul begitu saja. Seolah, dalam dirinya cuma ada ego; tidak ada
nalar, empati, apalagi kasih sayang sesama saudara seiman.

Jika tidak ada inisiatif mencari jalan damai, kekakuan terus
berlanjut. Bahkan, bisa terwariskan ke anak cucu.

Sebenarnya, ada ruang-ruang dalam diri yang sejalan dengan waktu
membutuhkan perhatian, kasih sayang, kerinduan. Terlebih sesama
mukmin. Baik buruk sebuah hubungan persaudaraan bisa berbanding lurus
dengan tingkat keimanan. Semakin kuat cahaya iman bersinar, rasa kasih
sayang mulai mengganti ego dan benci. Lahirnya keharmonisan cuma
tinggal menunggu momentum. Dan hadiah merupakan alat efektif
menumbuhkan momentum itu.

Rasulullah saw. bersabda, "Hendaknya kamu saling memberi hadiah.
Sesungguhnya pemberian hadiah itu dapat melenyapkan kedengkian." (HR.
Attirmidzi dan Ahmad)

Selalu pada komunikasi

Bisa dibilang, sebagian besar sebab munculnya kebencian karena salah
menafsirkan sebuah ucapan. Atau, sebab molornya perseteruan karena
tertutupnya peluang berkomunikasi.

Yang pertama memperlihatkan ketidakmampuan seseorang mengungkapkan
maksud baik. Plus, tidaksanggupan pihak lain menahan diri membuat
kesimpulan negatif. Ketidakmampuan mengutarakan maksud dan sifat
reaktif di pihak lain menjadi perkara paling rawan munculnya kles.

Dengan begitu, saling membuka komunikasi adalah langkah paling tepat
memperbaiki ketidakharmonisan. Dan itu akan berjalan efektif jika dua
belah pihak siap saling mendengarkan. Sulit memunculkan keadaan saling
pengertian seperti itu jika tidak dikondisikan dengan situasi yang
penuh persaudaraan dan kekeluargaan. Dan silaturahim adalah cara yang
paling pas.

Kasus Hathib bin Abi Balta'ah di masa Rasul bisa menjadi pelajaran.
Para sahabat termasuk Rasulullah saw. kaget ketika tahu siapa pembocor
rahasia penyerangan ke Mekah. Orang itu bernama Hathib. Kontan saja,
Umar bin Khattab minta izin ke Rasul agar bisa menghukum Hathib. Tapi
Rasul menolak. Beliau saw. meminta sahabat memanggil Hathib.

Penjelasan pun disampaikan Hathib. Sahabat yang masih punya keluarga
di Mekah ini pun mengungkapkan keterpaksaannya demi keselamatan
keluarga di sana. Itu saja. Tidak ada maksud membocorkan rahasia ke
tangan musuh. Akhirnya, Rasul memaafkan Hathib.

Harus ada prakarsa agar kebencian tidak berlanjut. Dan yang terbaik
adalah mereka yang lebih dulu mengawali kunjungan. Indahnya sebuah
nasihat Rasullah saw., "Tidak halal bagi seorang muslim menjauhi
(memutuskan hubungan) dengan saudaranya melebihi tiga malam. Hendaklah
mereka bertemu untuk berdialog, mengemukakan isi hati. Dan yang
terbaik, yang pertama memberi salam (menyapa)." (HR. Al-Bukhari)

Kamis, 16 Oktober 2008

Bilakah Memulai Puasa Enam Hari Bulan Syawal?

Bilakah dimulainya pelaksanaan puasa enam hari bulan Syawal, sebab sekarang ini kami sedang menikmati liburan tahunan?


Jawab:

Puasa enam hari bulan Syawal boleh dimulai pada hari kedua bulan Syawal. Sebab kita dilarang berpuasa pada Hari 'Ied. Anda boleh mengerjakannya sesuai kelapangan sepanjang bulan Syawal, kendati sebaik-baik amal kebaikan adalah yang disegerakan.

Lajnah Daimah pernah ditanya begini:

"Apakah puasa enam hari bulan Syawal mesti dilakukan langsung setelah Hari 'Ied ataukah boleh dilakukan beberapa hari setelah 'Ied secara berurutan sepanjang bulan Syawal?
Lajnah Daimah menjawab sebagai berikut:

Puasa enam hari bulan Syawal tidak mesti dilakukan tepat setelah Hari 'Ied. Namun boleh mulai dikerjakan beberapa hari setelah 'Ied. Dan ia boleh mengerjakan secara berurutan dan boleh juga secara terpisah-pisah sesuai dengan kelapangannya. Puasa enam hari buan Syawal ini bukanlah wajib, ia hanya sebatas sunnat saja, oleh karena itu terdapat kelapangan dalam mengerjakannya.

Wabillahi taufiq, semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad, kepada segenap keluarga dan sahabat beliau.

Fatwa Lajnah Daimah X/391.

Kisah Seekor Kambing Dan Empat Orang Mahasiswa Kedokteran Hewan

Pada suatu hari, seorang Profesor di sebuah perguruan tinggi ternama melakukan
uji coba terhadap seekor kambing yang sedang sakit dan respon mahasiswawnya
terhadap kambing tersebut, khususnya untuk melihat kemapuan mereka mengobati
sang kambing. Maklum, mereka adalah mahasiswa kedokteran hewan, yang memang
dilatih untuk bisa berinteraksi yang baik terhadap hewan.

Percobaan dilakukan dengan cara seekor kambing yang sedang sakit ditempatkan di
dalam kandangnya. Kandang dibuat sedemikian rupa hingga benar-benar menjadi
"rumah yang nyaman" bagi si kambing. Tentunya kandang yang nyaman bagi kambing
adalah kandang yang memiliki "aroma" kambing banget,... Lengkap dengan asesoris
"kotoran kambing" di sana - sini, serta tidak ketinggalan pula beberapa ikat
rerumputan dan juga "kulit pisang" yang bertebaran menghiasi lantai tanah
kandang kambing tersebut. (Maklum, ini kandang kambing ada di Indonesia).

Pada percobaan pertama, seorang mahasiswa Indonesia diminta oleh Sang Profesor
untuk masuk ke dalam kandang kambing itu. Dalam hatinya Profesor berharap
mahasiwa Indonesia akan menjadi tauladan bagi mahasiswa lainnya. Alasannya
sederhana, Universitas ini ada di Indonesia dan sang Profeseor pun adalah orang
Indonesia. Namun apa hasilnya? Ternyata tidak sampai 30 detik, sang mahasiswa
indonesia keluar dari kandang kambing sambil memegang "hidung"nya seraya menahan
muntah. Dan tak lama kemudian ia pun memang benar-benar muntah, tidak tahan
dengan aroma "khas" si kambing. Sang Profeseor pun geleng-geleng kepala, kecewa
dengan percobaan mahasiswa kesayangannya itu.

Percobaan kedua dilanjutkan, dengan meminta seorang mahasiswa Australia untuk
masuk ke dalam kandang kambing yang sama. Dan ternyata dengan harap-harap cemas,
sang Profeseor mendapatkan mahasiswanya ini ternyata mampu bertahan sedikit
lebih lama dibandingkan dengan mahasiswa Indonesia, 1 Menit 24 Detik. Namun
iapun sama, "menutupi hidungnya dengan kedua jarinya, seraya menahan mual karena
terasa seperti ingin muntah. Hanya mahasiswa Australia ini lebih beruntung tidak
sampai muntah beneran, namun matanya agak memerah menahan rasa mual yang
dideranya, lantara "bau" kambing yang begitu menyengat.

Pada percobaan ketiga, mahasiswa Amerika diminta masuk ke dalam kandang kambing
yang sama. Al-Hasil, luar biasa, ia mampu bertahan 3 menit 17 detik. Ia pun
telah berhasil "memeriksa" sedikit penyakit yang ada di kambing itu. Namun ia
masih belum mampu banget menganalisa penyakit apa sesungguhnya yang ada
dikambing tersebut. Dan perlu dicatat, walaupun ia merasa "terganggu" dengan
aroma khas kambing, namun ia tidak sampai menutup kedua lubang hidung dengan
tangannya. Profeseor pun memberikan tepuk tangan baginya. Sang Mahasiswa hanya
tersenyum kecut.

Nah, pada percobaan keempat, giliran seorang mahasiswa timur tengah yang
diminta untuk masuk ke dalam kandang kambing yang sama. Dan dengan sedikit ragu,
sang mahasiswa yang sangat doyan menyantap sate kambing ini pun mencoba masuk,
untuk memeriksa kondisi kambing yang sedang sakit....

Sang Profesor dan ketiga mahasiswa lainnya memperhatikan dengan seksama, apa
kira-kira yang akan terjadi.., satu menit berlalu, dua menit berlalu, tanpa ada
tanda-tanda apapun juga, tiga menit hingga sampai ke menit yang ke empat, juga
tidak ada tanda-tanda apapun. Dalam hati, profesor bergumam, mungkin
mahasiswanya sudah mampu mendiagnosis penyakit si kambing....

Namun ternyata setelah 5 menit berlalu apa yang terjadi? Terdengar ada sedikit
suara kegaduhan di dalam kandang kambing, dan tak lama kemudian, ternyata "si
kambing" keluar dari kandangnya dalam kondisi muntah-muntah....

Kisah ini hanya anekdot belaka, sekedar untuk merileksasi kerja otak. Tapi coba
teman-teman pikir, kenapa kambing bau?
Terkait dengan masalah bau kambing, berikut ada kutipan dari situsnya Mas Jamil
Azzaini :

Sabtu-Ahad kemaren saya diundang untuk memberikan materi pencerahan di acara
Silaturahmi keluarga besar PT Holcim Indonesia Tbk di Cilacap. Merasa sering
meninggalkan anak-istri maka istri dan kedua anak saya yang paling kecil saya
bawa serta. Namanya Hana (8) dan Izul (5). Selain istri dan dua anak say, saya
juga didampingi tiga orang tim pendukung, Dayat, Rudi dan Edi.

Untuk menghidupkan suasana dalam perjalanan kami main tebak-tebakkan. Tebakan
yang tak akan terlupakan ketika istri saya bertanya “mengapa kambing bau?” semua
orang berlomba menjawab dan tidak ada yang benar. Setelah kami semua menyerah,
maka dijawab oleh istri saya “sebab kambing keteknya ada empat, kita yang dua
saja bau apalagi yang empat”. He…he…he…makanya pakai Rexona…

Rabu, 15 Oktober 2008

Iman Kepada Hari Akhir

Oleh: Tim dakwatuna.com


dakwatuna.com - Kehidupan manusia terbagi menjadi dua: kehidupan
pendek di Darul `Amal dan kehidupan abadi di Darul Jaza.

Darul `Amal (tempat beramal) adalah bumi atau dunia yang kita tempati
sekarang ini sampai batas waktu tertentu yang amat singkat. Dunia
adalah tempat dan waktu yang diberikan kepada kita untuk melakukan
amal yang kita kehendaki seperti orang-orang sebelum kita yang juga
telah mengalaminya. Allah swt. berfirman:

"Dan apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu melihat bagaimana
kesudahan orang-orang yang sebelum mereka, sedangkan orang-orang itu
adalah lebih besar kekuatannya dari mereka? Dan tiada sesuatupun yang
dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. Dan kalau sekiranya Allah
menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan
meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melata pun
akantetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang
tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya." (Fathir: 44-45)

Setiap lewat sehari, kesempatan hidup pun berkurang dan kita semakin
dekat dengan Darul Jaza (negeri balasan). Dan bila kesempatan itu
benar-benar habis, hidup di dunia ini terasa kurang dari sesaat. Allah
swt berfirman:

"Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan
mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah
berdiam (di dunia) kecuali hanya sesaat di siang hari, (di waktu itu)
mereka saling berkenalan. Sesungguhnya rugilah orang-orang yang
mendustakan pertemuan mereka dengan Allah dan mereka tidak mendapat
petunjuk." (Yunus: 45)

Sedangkan yang dimaksud dengan Darul Jaza adalah negeri akhirat,
tempat manusia mendapatkan balasan semua perbuatannya di Darul Amal.
Dan maut adalah titik perpindahan dari Darul Amal ke Darul Jaza. Allah
swt. berfirman:

"Katakanlah: `Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)-mu
akan mematikanmu, kemudian hanya kepada Tuhanmu-lah kamu akan
dikembalikan.' Dan, jika sekiranya kamu melihat mereka ketika
orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan
Tuhannya, (mereka berkata): `Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan
mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan
amal shalih, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin.'"
(As-Sajadah: 11-12)

"Dan disempurnakan bagi tiap-tiap jiwa (balasan) apa yang telah
dikerjakannya dan Dia lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan.
Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahannam berombong-rombongan.
Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah
pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya:
`Apakah belum pernah datang kepadamu Rasul-Rasul di antaramu yang
membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan
pertemuan dengan hari ini?' Mereka menjawab: `Benar (telah datang).'
Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang yang
kafir. Dikatakan (kepada mereka): `Masukilah pintu-pintu neraka
Jahannam itu, sedang kamu kekal di dalamnya.' Maka neraka Jahannam
itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri.

Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam surga
berombong-rombongan (pula). sehingga apabila mereka sampai ke surga
itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka
penjaga-penjaganya: `Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu. Berbahagialah
kamu! Maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya.' Dan
mereka mengucapkan: `Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi
janji-Nya kepada kami dan telah (memberi) kepada kami tempat ini
sedang kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja
yang kami kehendaki; maka surga itulah sebaik-baik balasan bagi
orang-orang yang beramal.' Dan kamu (Muhammad) akan melihat
malaikat-malaikat berlingkar di sekeliling `Arsy bertasbih sambil
memuji Tuhannya; dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan
adil dan diucapkan: `Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.'"
(Az-Zumar: 70-75)

Hari Akhir adalah Bukti Keadilan Ilahi

Iman seorang mukmin kepada hari akhir punya dalil yang kuat. Dalil
yang utama adalah informasi semua Rasul, tanpa kecuali, tentang
hakikat hari akhir yang mereka terima dari Allah swt. Para Rasul
adalah orang-orang yang telah menunjukkan kepada manusia bukti-bukti
kebenaran risalah mereka. Namun disamping itu ada juga dalil-dalil
aqli (logika).

Ada banyak dalil aqli. Tapi, salah satunya adalah dalil logika
keadilan Ilahi.

Dalam diri manusia ada perasaan cinta kepada keadilan. Ini perasaan
yang membuat manusia membenci kezaliman. Pencipta perasaan cinta
keadilan dalam diri manusia ini adalah Allah swt., Pencipta manusia,
dan merupakan aksioma bahwa Sang Pencipta lebih agung dan lebih
sempurna dari ciptaan-Nya, dan bagi Allah segala perumpamaan yang
sempurna.

Jadi, keadilan Allah swt. jelas Maha Sempurna, sedangkan makhluknya
tidak. Jika rasa keadilan dalam diri manusia menolak perlakuan sama
antara orang zalim dan yang terzalimi, antara pembunuh dengan korban
terbunuh, orang yang taat dengan yang membangkang, maka keadilan Ilahi
yang sempurna tentunya lebih menolak penyamaan antara si zalim dengan
yang dizalimi, antara pembunuh dan terbunuh, antara yang taat dan yang
melakukan maksiat, antara mukmin dengan kafir, dan antara orang baik
dan orang jahat. Allah swt. berfirman:

"Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara
keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang
kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk
neraka. Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang shalih sama dengan orang-orang yang berbuat
kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang
yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?" (Shad: 27-28)

Namun kita tidak mendapati keadilan sempurna di dunia. Belum ada
balasan yang setimpal atas semua perbuatan manusia yang baik maupun
buruk. Dengan logika keadilan Ilahi yang tak mungkin diragukan, kita
beriman bahwa penghitungan dan balasan amal yang seadil-adilnya itu
akan kita temui di hari akhir sebagaimana diinformasikan oleh semua
Rasul a.s.

Kesimpulan

Kehidupan manusia terbagi dua: kehidupan singkat di Darul Amal dan
kehidupan abadi di Darul Jaza, sedangkan kematian adalah titik
perpindahan antara keduanya.

Siapa yang beramal shalih di dunia, Allah swt. akan membalasnya dengan
ganjaran pahala. Barangsiapa berbuat buruk, Allah swt. mengancamnya
dengan hukuman setimpal. Allah swt. juga mengutus para Rasul kepada
manusia, dan mereka telah membuktikan kebenaran pengakuan kerasulan
mereka lalu menyampaikan wahyu Allah yang diantaranya berisi keimanan
kepada hari akhir dan apa yang terjadi di sana.

Keadilan Allah swt. Maha Sempurna, dan konsekuensinya adalah perlakuan
yang tidak sama antara yang jahat dan yang baik. Di dunia ini ganjaran
untuk orang yang baik belum sempurna, begitu pula hukuman bagi orang
jahat. Oleh karenanya Allah swt. menjadikan hari akhir untuk
menyempurnakan penghargaan kepada orang-orang yang telah berbuat baik
dan mengadili serta menghukum orang-orang yang ingkar kepada-Nya.

http://www.dakwatuna.com/2008/iman-kepada-hari-akhir/

Selasa, 14 Oktober 2008

Rahasia 1 Syawal

dakwatuna.com - Dengan datangnya 1 Syawal, otomatis bulan Ramadhan
telah pergi. Pergi meninggalkan kita, untuk kemudian datang lagi di
tahun yang akan datang. Kita tidak tahu apakah kelak akan bertemu lagi
dengan Ramadhan, atau ternyata ini adalah Ramadhan yang terakhir.
Banyak suadara kita yang sebenarnya ingin menikmati Ramadhan tahun
ini, tetapi ternyata ajal segera menjemptnya beberapa detik sebelum
memasukinya. Karenanya kita sangat bersyukur bahwa Allah swt. telah
memberikan kesempatan kepada kita bisa bertemu dengan Ramadhan tahun ini.

Benar 1 Syawal telah tiba. Dan kita tidak serta merta gembira, karena
di saat yang sama kita harus berpisah dengan Ramadhan. Perpisahan yang
sangat mengharukan. Bayangkan selama Ramadhan kita telah mendapatkan
suasana yang dalam, di mana kita dihantarkan kepada nuansa ketaatan
yang tak terhingga. Nafsu yang selama ini diagungkan manusia, ternyata
dengan Ramadhan, nafsu ini tidak berdaya. Setan yang selama ini sangat
kuat menguasai manusia, ternyata dengan Ramadhan tersingkirkan. Kita
bisa setiap saat membaca Al Qur'an selama Ramadhan, di mana di luar
Ramadhan itu sangat sulit kita lakukan. Di malam hari kita selalu
bangun sebelum fajar dan shalat subuh berjamaah di masjid, padahal itu
sangat sedikit yang melakukannya di luar Ramadhan. Pun tangan kita
terasa ringan berinfak selama Ramadhan, sementara di luar Ramadhan itu
sangat berat dilakukan. Lebih jauh, kita bisa beri'tikaf -atau minimal
selalu di masjid sepanjang malam- terutama pada 10 malam terakhir
Ramadhan, dan kita tahu bahwa itu sangat jarang dapat kita lakukan di
luar Ramadhan.

Berpisah dengan Ramadhan memang tidak dapat dibandingkan dengan
perpisahan yang lain. Berpisah dengan Ramadhan adalah perpisahan
dengan suasana ruhani yang sangat kental dan menguatkan iman. Itulah
yang membuat airmata harus menetes. Menetes bukan karena kesedihan
murahan, yang datang dari sentuhan emosional belaka. Melainkan menetes
kerena kesedihan yang memancar dari gelora iman. Menetes karena takut
bila setelah Ramadhan suasana keimanan itu melemah kembali tergerogoti
dosa-dosa. Takut kalau lidah kita ini berat kembali bertasbih dan
membaca Al Qur'an. Takut kalau malam-malam kita kembali diwarnai tawa
dan hiburan yang melalaikan. Takut kalau hati ini kembali keras dan
sulit menerima sentuhan ayat-ayat Al Qur'an. Karena itu kita berdoa,
semoga kita bisa bertemu lagi dengan Ramadhan di tahun yang akan datang.

Tapi apapun, tanggal 1 Syawal telah datang. Kita harus menerima
kenyataan. Hari Raya adalah hari kegembiraan bagi setiap yang beriman.
Gembira karena telah berhasil melepaskan dosa-dosa selama Ramadhan.
Gembira karena telah menang terhadap setan dan hawa nafsu. Karena itu
kegembiraan ini jangan disambut dengan gelora nafsu belaka. Ingat
bahwa setan seringkali masuk melalui nafsu makan. Karena itu, bila
nafsu makan dibuka, setan selalu menang menguasai manusia. Oleh sebab
itu, begitu Ramadhan pergi, pemandangan durjana seringkali begitu
mudah bermunculan. Allah swt. dalam surah An Nashr mengingatkan, bahwa
kemenangan tidak pantas disambut dengan tawa dan nafsu. Kemenangan
harus disambut dengan tasbih, tahmid, tahlil, dan istighfar. Benar
kita harus menyebut kemenagan fitri ini dengan tasbih tahmid, tahlil
dan istighfar. Dengarkan Allah berfirman: fasabbih bihamdika rabbika
wastaggfir, innahuua kaana tawwabaa.

Oleh karena itu, 1 Syawal bukan hari pembebasan sebebas-bebasnya.
Melainkan hari pertama kita mulai terjun ke medan pertarungan melawan
hawa nafsu dan setan, seteleh sebulan penuh kita berbekal iman dan
kekuatan ruhani. Karena itu kita harus menang. Kita harus kendalikan
nafsu itu ke arah yang positif, bukan malah dikendalikan nafsu ke arah
yang buruk. Kita harus bergegas dalam kebaikan-kebaikan seperti kita
dalam suasana Ramadhan. Bila kita kalah berarti perbekalan kita selama
Ramadhan tidak maksimal. Tidak sungguh - sungguh. Tidak sedikit dari
saudara-saudara kita seiman, yang langsung KO justru pada tanggal 1
Syawal. Artinya, begitu mereka masuk bulan Syawal seketika itu mereka
terperosok dalam gelimang dosa.

Nabi saw. tidak ingin kita kalah lagi. Itulah rahasia mengapa kita
disunnahkan menambah puasa lagi minimal 6 hari di antara bulan Syawal.
Nabi bersabda: bahwa siapa yang menambah puasa 6 hari di bulan Syawal,
ia akan mendapatkan pahala puasa setahun, seperti pahala puasa yang
didapat umat-umat terdahulu. Mengapa puasa Syawal? Ini suatau isyarat
bahwa kita harus terus mempertahnkan diri seperti dalam suasana
Ramadhan. Suasana di mana kita tetap dekat kepada Allah swt. Sebab
seorang yang menahan nafsunya, tidak akan didekati setan. Bila setan
menjauh maka malaikat mendekatinya. Bila malaikat mendekatinya
otomatis ia akan semakin dekat kepada Allah. Ingat bahwa seorang yang
dekat kepada Allah, ia akan mendapat keutamaan yang luar biasa: tidak
saja doa-nya mustajab, melainkan lebih dari itu ia akan dijauhkan dari
rasa sedih dan galau. Allah befirman: "alaa inna awliyaa Allahi laa
khawfun `alaihim walaa hum yahazanuun (ketahuilah bahwa orang-orang
yang dekat kepada Allah mereka tidak akan mendapatkan rasa takut atau
kekhawatiran dan tidak akan pernah dirundung kesedihan)."

Terakhir, pada 1 Syawal kali ini marilah kita sama-sama membuka hati,
buang jauh segala penyakit dengki dan hasud di hati, bersihkan jiwa
kita dari berbagai beban penyakit, sayangi diri kita dengan
meningkatkan iman bukan dengan memanjakan diri dalam dosa-dosa. Mari
kira saling mengucapakan: Selamat hari raya, taqabbalahhu minnaa
waminkum shaalihal a'maali, wa kullu `aamin wa antum bikhairin (semoga
Allah menerima amal-amal baik kita, dan semoga dalam semua hari-hari
sepanjang tahun kita selalu dalam kebaikan). Amin. Wallahu a'lam
bishshowab.

http://www.dakwatuna.com/2008/rahasia-1-syawal/

Berbagi Cinta

Bila ada ajakan untuk berbagi, apa yang ada di pikiran Anda? Mungkin berbagi
dana, berbagi pakaian layak pakai, sembako, susu, atau berbagi makanan. Ya,
semua jawaban biasanya dalam bentuk materi. Itu mungkin karena di kepala kita
telah tertancap ide-ide materialistik yang sudah mengglobal. Mengukur segala
sesuatunya dengan ukuran yang bersifat material dan kasat mata. Pengalaman nyata
dari ayah angkat saya mungkin bisa menjadi pelajaran bahwa berbagi tidaklah
mesti berbentuk materi.

Setiap tahun, ayah angkat saya punya kebiasan berkeliling ke berbagai panti
asuhan dan rumah anak yatim. Kunjungan biasanya dilakukan dua kali. Awal bulan
Ramadhan dan akhir bulan Ramadhan. Kunjungan pertama adalah survei untuk
mengetahui kebutuhan panti asuhan atau rumah yatim. Kunjungan kedua membawa
bantuan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.

Ketika berkunjung ke salah satu rumah yatim, ayah angkat saya bertemu dengan
seorang bocah manis dan lucu. Dia masih sekolah kelas nol besar. ”Siapa namamu
nak?” sapa ayah saya. ”Nama saya Nina Om”, jawabnya manja. ”Nina sudah punya
sepatu baru?” tanya ayah saya. ”Sudah om, dikasih Abah (pemimpin panti-red).
Nina juga sudah punya baju baru” urai Nina.

“Kalau begitu Nina mau apa?” tanya ayah saya. “Nggak ah… ntar Om marah” jawab
Nina. “Nggak sayang, Om nggak akan marah,” ayah saya menimpali. ”Nggak ah… ntar
Om marah” Nina mengulang jawabannya. Ayah saya berpikir, pasti yang diminta Nina
adalah sesuatu yang mahal. Rasa keingintahuan ayah saya semakin menjadi. Maka
dia dekati lagi Nina.

”Ayo Nak katakan apa yang kamu minta sayang”, pinta ayah saya. ”Tapi janji ya Om
tidak marah?” jawab Nina manja. ”Om janji tidak akan marah sayang,” tegas ayah
saya. ”Bener Om nggak akan marah?” sahut Nina agak ragu. Ayah saya menganggukkan
kepala.

Nina menatap tajam wajah ayah saya. Sementara ayah saya berpikir, ‘Seberapa
mahal sich yang bocah kecil ini minta sampai dia harus meyakinkan bahwa saya
tidak akan marah’. Sambil tersenyum Ayah mengatakan “ayo Nak, katakan, jangan
takut, Om tidak akan marah Nak.””Bener ya Om nggak marah?,” ujar Nina sambil
terus menatap wajah ayah saya. Sekali lagi ayah saya menganggukkan kepala.

Dengan wajah berharap-harap cemas, Nina mengajukan permintaanya ”Mmmm, boleh gak
mulai malam ini saya memanggil Om..dengan paggilan Ayah?. Nina sedih gak punya ayah”

Mendengar jawaban itu, Ayah saya tak kuasa membendung air matanya. Segera dia
peluk Nina, ”tentu Anakku.. tentu Anakku…mulai hari ini Nina boleh memanggil
Ayah, bukan Om”. Sambil memeluk erat ayah saya, dengan terisak Nina berkata
”terima kasih ayah… terima kasih ayah..”.

Hari itu, adalah hari yang takkan terlupakan buat ayah saya. Dia habiskan waktu
beberapa saat untuk bermain dan bercengkrama dengan Nina. Karena merasa belum
memberikan sesuatu berbentuk material kepada Nina maka sebelum pulang Ayah
bertanya lagi pada Nina, ”anakku, sebelum lebaran nanti ayah akan datang lagi
kemari bersama ibu dan kakak-kakakmu, apa yang kamu minta nak?” ”Kan udah tadi,
Nina sudah boleh memanggil Ayah,” jawab Nina.

”Nina masih boleh minta lagi sama ayah. Nina boleh minta sepeda, otoped atau
yang lain, pasti akan Ayah kasih.” jelas Ayah saya.

”Nanti kalau ayah datang sama ibu ke sini, aku minta Ayah bawa foto bareng yang
ada Ayah, Ibu dan kakak-kakak NIna, boleh kan Ayah?” Nina memohon sambil
memegang tangan Ayah.

Tiba-tiba kaki Ayah lunglai. Dia berlutut di depan Nina. Dia peluk lagi Nina
sambil bertanya, ”buat apa foto itu Nak?”

“Nina ingin tunjukkan sama temen-temen Nina di sekolah, ini foto ayah Nina, ini
ibu Nina, ini kakak-kakak Nina.” Ayah saya memeluk Nina semakin erat, seolah tak
mau berpisah dengan gadis kecil yang menjadi guru kehidupannya di hari itu.

Terima kasih Nina. Meski usiamu masih belia kau telah mengajarkan kepada kami
tentang makna berbagi cinta. Berbagilah cinta, karena itu lebih bermakna
dibandingkan dengan sesuatu yang kasat mata. Berbagilah cinta, maka kehidupan
kita akan lebih bermakna. Berbagilah cinta agar orang lain merasakan keberadaan
kita di dunia.


Dikutip dari Jamil Azzaini.