Allahu Akbar

Senin, 01 Desember 2008

Kisah Teladan - Yu Timah

(dicuplik dari RESONANSI - Republika Desember 2006/Ahmad Tohari)

Ini kisah tentang Yu Timah. Siapakah dia? Yu Timah adalah tetangga
kami. Dia salah seorang penerima program Subsidi Langsung Tunai (SLT)
yang kini sudah berakhir. Empat kali menerima SLT selama satu tahun
jumlah uang yang diterima Yu Timah dari pemerintah sebesar Rp 1,2
juta. Yu Timah adalah penerima SLT yang sebenarnya. Maka rumahnya
berlantai tanah, berdinding anyaman bambu, tak punya sumur sendiri.
Bahkan status tanah yang di tempati gubuk Yu Timah adalah bukan milik
sendiri. Usia Yu Timah sekitar lima puluhan, berbadan kurus dan tidak
menikah.

Barangkali karena kondisi tubuhnya yang kurus, sangat miskin, ditambah
yatim sejak kecil, maka Yu Timah tidak menarik lelaki manapun. Jadilah
Yu Timah perawan tua hingga kini. Dia sebatang kara. Dulu setelah
remaja Yu Timah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta.
Namun, seiring usianya yang terus meningkat, tenaga Yu Timah tidak
laku di pasaran pembantu rumah tangga. Dia kembali ke kampung kami.
Para tetangga bergotong royong membuatkan gubuk buat Yu Timah bersama
emaknya yang sudah sangat renta. Gubuk itu didirikan di atas tanah
tetangga yang bersedia menampung anak dan emak yang sangat miskin itu.

Meski hidupnya sangat miskin, Yu Timah ingin mandiri. Maka ia
berjualan nasi bungkus. Pembeli tetapnya adalah para santri yang
sedang mondok di pesantren kampung kami. Tentu hasilnya tak seberapa.
Tapi Yu Timah bertahan. Dan nyatanya dia bisa hidup bertahun-tahun
bersama emaknya.

Setelah emaknya meninggal Yu Timah mengasuh seorang kemenakan. Dia
biayai anak itu hingga tamat SD. Tapi ini zaman apa. Anak itu harus
cari makan. Maka dia tersedot arus perdagangan pembantu rumah tangga
dan lagi-lagi terdampar di Jakarta. Sudah empat tahun terakhir ini Yu
Timah kembali hidup sebatang kara dan mencukupi kebutuhan hidupnya
dengan berjualan nasi bungkus. Untung di kampung kami ada pesantren
kecil. Para santrinya adalah anak-anak petani yang biasa makan nasi
seperti yang dijual Yu Timah.

Kemarin Yu Timah datang ke rumah saya. Saya sudah mengira pasti dia
mau bicara soal tabungan. Inilah hebatnya. Semiskin itu Yu Timah masih
bisa menabung di bank perkreditan rakyat syariah di mana saya ikut
jadi pengurus. Tapi Yu Timah tidak pernah mau datang ke kantor.
Katanya, malu sebab dia orang miskin dan buta huruf. Dia menabung Rp
5.000 atau Rp 10 ribu setiap bulan. Namun setelah menjadi penerima SLT
Yu Timah bisa setor tabungan hingga Rp 250 ribu. Dan sejak itu saya
melihat Yu Timah memakai cincin emas. Yah, emas. Untuk orang seperti
Yu Timah, setitik emas di jari adalah persoalan mengangkat harga diri.
Saldo terakhir Yu Timah adalah Rp 650 ribu.

Yu Timah biasa duduk menjauh bila berhadapan dengan saya. Malah maunya
bersimpuh di lantai, namun selalu saya cegah.
"Pak, saya mau mengambil tabungan," kata Yu Timah dengan suaranya yang kecil.
"O, tentu bisa. Tapi ini hari Sabtu dan sudah sore. Bank kita sudah
tutup. Bagaimana bila Senin?"
"Senin juga tidak apa-apa. Saya tidak tergesa."
"Mau ambil berapa?" tanya saya.
"Enam ratus ribu, Pak."
"Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?"
Yu Timah tidak segera menjawab. Menunduk, sambil tersenyum malu-malu.
"Saya mau beli kambing kurban, Pak. Kalau enam ratus ribu saya tambahi
dengan uang saya yang di tangan, cukup untuk beli satu kambing."

Saya tahu Yu Timah amat menunggu tanggapan saya. Bahkan dia mengulangi
kata-katanya karena saya masih diam. Karena lama tidak memberikan
tanggapan, mungkin Yu Timah mengira saya tidak akan memberikan uang
tabungannya. Padahal saya lama terdiam karena sangat terkesan oleh
keinginan Yu Timah membeli kambing kurban.

"Iya, Yu. Senin besok uang Yu Timah akan diberikan sebesar enam ratus
ribu. Tapi Yu, sebenarnya kamu tidak wajib berkurban. Yu Timah bahkan
wajib menerima kurban dari saudara-saudara kita yang lebih berada.
Jadi, apakah niat Yu Timah benar-benar sudah bulat hendak membeli
kambing kurban?"
"Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin berkurban. Selama
Ini memang saya hanya jadi penerima. Namun sekarang saya ingin jadi
pemberi daging kurban."
"Baik, Yu. Besok uang kamu akan saya ambilkan di bank kita."
Wajah Yu Timah benderang. Senyumnya ceria. Matanya berbinar. Lalu
minta diri, dan dengan langkah-langkah panjang Yu Timah pulang.

Setelah Yu Timah pergi, saya termangu sendiri. Kapankah Yu Timah
mendengar, mengerti, menghayati, lalu menginternalisasi ajaran kurban
yang ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim? Mengapa orang yang sangat awam
itu bisa punya keikhlasan demikian tinggi sehingga rela mengurbankan
hampir seluruh hartanya? Pertanyaan ini muncul karena umumnya ibadah
haji yang biayanya mahal itu tidak mengubah watak orangnya.

Mungkin saya juga begitu. Ah, Yu Timah, saya jadi malu. Kamu yang
belum naik haji, atau tidak akan pernah naik haji, namun kamu sudah
jadi orang yang suka berkurban. Kamu sangat miskin, tapi uangmu tidak
kaubelikan makanan, televisi, atau pakaian yang bagus. Uangmu malah
kamu belikan kambing kurban. Ya, Yu Timah. Meski saya dilarang dokter
makan daging kambing, tapi kali ini akan saya langgar. Saya ingin
menikmati daging kambingmu yang sepertinya sudah berbau surga.
Mudah-mudahan kamu mabrur sebelum kamu naik haji.

Lebih Baik memberi Dari pada menerima

"SELAMAT HARI RAYA IDUL ADHA 1429 H"