Allahu Akbar

Jumat, 13 Februari 2009

Berbagi Cinta

Bila ada ajakan untuk berbagi, apa yang ada di pikiran Anda? Mungkin
berbagi dana, berbagi pakaian layak pakai, sembako, susu, atau berbagi
makanan. Ya, semua jawaban biasanya dalam bentuk materi. Itu mungkin karena
di kepala kita telah tertancap ide-ide materialistik yang sudah mengglobal.
Mengukur segala sesuatunya dengan ukuran yang bersifat material dan kasat
mata. Pengalaman nyata dari ayah angkat saya mungkin bisa menjadi pelajaran
bahwa berbagi tidaklah mesti berbentuk materi.

Setiap tahun, ayah angkat saya punya kebiasan berkeliling ke berbagai panti
asuhan dan rumah anak yatim. Kunjungan biasanya dilakukan dua kali. Awal
bulan Ramadhan dan akhir bulan Ramadhan. Kunjungan pertama adalah survei
untuk mengetahui kebutuhan panti asuhan atau rumah yatim. Kunjungan kedua
membawa bantuan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.

Ketika berkunjung ke salah satu rumah yatim, ayah angkat saya bertemu
dengan seorang bocah manis dan lucu. Dia masih sekolah kelas nol besar.
Siapa namamu nak? sapa ayah saya. Nama saya Nina Om, jawabnya
manja. Nina sudah punya sepatu baru? tanya ayah saya. Sudah om,
dikasih Abah (pemimpin panti-red). Nina juga sudah punya baju baru urai
Nina.

Kalau begitu Nina mau apa? tanya ayah saya. Nggak ah… ntar Om
marah jawab Nina. Nggak sayang, Om nggak akan marah, ayah saya
menimpali. Nggak ah… ntar Om marah Nina mengulang jawabannya. Ayah
saya berpikir, pasti yang diminta Nina adalah sesuatu yang mahal. Rasa
keingintahuan ayah saya semakin menjadi. Maka dia dekati lagi Nina.


Ayo Nak katakan apa yang kamu minta sayang, pinta ayah saya. Tapi
janji ya Om tidak marah? jawab Nina manja. Om janji tidak akan marah
sayang, tegas ayah saya.Bener Om nggak akan marah? sahut Nina
agak ragu. Ayah saya menganggukkan kepala.

Nina menatap tajam wajah ayah saya. Sementara ayah saya berpikir,
Seberapa mahal sich yang bocah kecil ini minta sampai dia harus
meyakinkan bahwa saya tidak akan marah. Sambil tersenyum Ayah mengatakan
ayo Nak, katakan, jangan takut, Om tidak akan marah Nak.Bener ya
Om nggak marah?, ujar Nina sambil terus menatap wajah ayah saya. Sekali
lagi ayah saya menganggukkan kepala.

Dengan wajah berharap-harap cemas, Nina mengajukan permintaanya Mmmm,
boleh gak mulai malam ini saya memanggil Om..dengan paggilan Ayah?. Nina
sedih gak punya ayah Mendengar jawaban itu, Ayah saya tak kuasa
membendung air matanya. Segera dia peluk Nina, tentu Anakku.. tentu
Anakku…mulai hari ini Nina boleh memanggil Ayah, bukan Om. Sambil
memeluk erat ayah saya, dengan terisak Nina berkata terima kasih ayah…
terima kasih ayah...

Hari itu, adalah hari yang takkan terlupakan buat ayah saya. Dia habiskan
waktu beberapa saat untuk bermain dan bercengkrama dengan Nina. Karena
merasa belum memberikan sesuatu berbentuk material kepada Nina maka sebelum
pulang Ayah bertanya lagi pada Nina, anakku, sebelum lebaran nanti ayah
akan datang lagi kemari bersama ibu dan kakak-kakakmu, apa yang kamu minta
nak?Kan udah tadi, Nina sudah boleh memanggil Ayah, jawab Nina.

Nina masih boleh minta lagi sama ayah. Nina boleh minta sepeda, otoped
atau yang lain, pasti akan Ayah kasih. jelas Ayah saya. Nanti kalau
ayah datang sama ibu ke sini, aku minta Ayah bawa foto bareng yang
ada Ayah, Ibu dan kakak-kakak NIna, boleh kan Ayah? Nina memohon sambil
memegang tangan Ayah.

Tiba-tiba kaki Ayah lunglai. Dia berlutut di depan Nina. Dia peluk lagi
Nina sambil bertanya, buat apa foto itu Nak?Nina ingin tunjukkan
sama temen-temen Nina di sekolah, ini foto ayah Nina, ini ibu Nina, ini
kakak-kakak Nina.Ayah saya memeluk Nina semakin erat, seolah tak mau
berpisah dengan gadis kecil yang menjadi guru kehidupannya di hari itu.

Terima kasih Nina. Meski usiamu masih belia kau telah mengajarkan kepada
kami tentang makna berbagi cinta. Berbagilah cinta, karena itu lebih
bermakna dibandingkan dengan sesuatu yang kasat mata. Berbagilah cinta,
maka kehidupan kita akan lebih bermakna. Berbagilah cinta agar orang lain
merasakan keberadaan kita di dunia.

Dikutip dari Jamil Azzaini.

Tidak ada komentar: