Allahu Akbar

Senin, 23 Februari 2009

Bersabar Menunggu Panggilan...

Seorang pria berumur 61 tahun bernama Asep Sudrajat menghidupi keluarganya
dengan membuka sebuah toko berukuran 3 x 4 meter di sebuah jalan di kota
Bandung. Tiada yang mendampingi hidupnya di rumah selain Asih, istrinya.
Sudah puluhan tahun berumah tangga, Allah Swt Sang Maha Pencipta belum
berkenan memberikan mereka keturunan.

Namun baik Asep dan Asih adalah model hamba Allah yang menerima segala
ketetapan. Mereka selalu menghiasi hidup dengan pengharapan terhadap Allah
SWT. Bersyukur atas segala nikmat yang mereka terima, dan bersabar atas
segala ujian yang diberikan. Hampir dua puluh tahun mereka menabung demi
mewujudkan cita-cita. Sebuah cita-cita mulia yang mereka tanamkan dalam
hati, untuk berangkat haji ke Baitullah, Mekkah Al Mukarramah. Dengan hasil
dagang di toko yang seadanya, sedikit demi sedikit mereka sisihkan untuk
menggapai cita-cita

itu. Hanya ibadah haji saja dalam benak mereka yang belum pernah mereka
lakukan.

Keinginan itu terus membuncah, menggelegak dalam dada seorang hamba yang
rindu akan keridhaan Rab-nya. Hasil tabungan yang mereka kumpulkan tidak
mereka tabung di bank. Sengaja uang sejumlah itu mereka simpan agar dapat
memotivasi semangat mereka untuk mencari tambahan uang sesegera mungkin.
Sungguh dua puluh tahun
dalam menabung, merupakan masa yang cukup panjang untuk bersabar demi
mewujudkan ketaatan kepada Allah SWT. Tidak banyak, manusia modern di zaman
sekarang yang mampu memiliki niat sedemikian.

Malam itu, Asep dan Asih sekali lagi menghitung jumlah tabungan mereka.
Uang yang mereka simpan untuk berhaji itu kini berjumlah Rp. 50.830.000.
Sementara biaya haji pada saat itu berkisar kurang lebih Rp 27 juta per
orang, belum lagi biaya bimbingan haji yang harus mereka ikuti, ditambah
dengan uang jajan tambahan untuk membeli oleh-oleh. Mereka menghitung,
kurang lebih mereka memerlukan dana berkisar Rp 10 juta.

Setiap malam berlalu, Asep dan Asih selalu menghitung peruntungan jualan
mereka, dan sebagiannya mereka sisihkan untuk mewujudkan cita-cita berhaji.
Suatu pagi, Asep mendengar kabar bahwa kawan karibnya dalam berjamaah
shalat di Masjid As Shabirin jatuh sakit secara mendadak dan kini dirawat
di RS. Dr. Hasan Sadikin.

Setelah divisum oleh dokter rupanya penyakit yang diderita tetangga
sekaligus kawan karibnya itu adalah penyakit tumor tulang. Sebuah penyakit
yang jarang terjadi pada masyarakat Indonesia.

Bersegeralah, Asep menjenguk kawan karibnya itu. Sesampainya di sana,
sahabat tersebut masih berada di ruang ICU dan untungnya masih sadarkan
diri sehingga dapat melakukan percakapan dengan Asep. Dari penuturannya
Asep mengetahui bahwa tumor tulang tersebut telah membuat tetangganya tidak
mampu untuk berdiri lagi, dan tumor tersebut harus diangkat segera. Sebab
bila tidak, maka tumor tersebut dapat menjalar ke bagian tubuh lain. Asep
bergidik mendengarnya. Namun ia masih terus membesarkan hati sahabatnya itu
untuk senantiasa tawakkal dan berdoa kepada Allah Swt Yang Maha
Menyembuhkan setiap penyakit hamba-Nya.

Hampir setiap hari Asep menjenguk sahabatnya itu. Pada hari kedelapan,
sahabatnya itu telah dipindah ke ruang rawat inap kelas 3, bersama tujuh
pasien lainnya dalam satu kamar. Kamar tersebut pengap dengan bau obat, dan
tidak layak disebut sebagai kamar rumah sakit. Pemandangan yang berantakan.
Jemuran baju pasien dan pendamping yang bertebaran di sepanjang jendela.
Seprai kasur yang tidak rapi. Tikar dan koran bertebaran di pojok-pojok
kamar. Itu semua membuat pemandangan kamar menjadi tidak asri dan pengap.

Namun apa mau dikata,
tetangganya adalah seorang yang mungkin memilik nasib sama dengan jutaan
orang di Indonesia. Sudah masuk rumah sakit saja Alhamdulillah, nggak tahu
bayarnya pakai apa?

Hari itu adalah hari kesebelas sahabatnya dirawat di rumah sakit. Kebetulan
Asep sedang berada di sana, seorang perawat membawakan sebuah surat dari
rumah sakit bahwa untuk membuang tumor yang berada di sendi-sendi tulang
pasien haruslah dijalankan sebuah operasi. Operasi itu akan menelan biaya
hampir Rp 50 juta. Bila keluarga pasien mengharapkan kesembuhan, maka
operasi tersebut harus dilakukan. Namun kalau mau berpasrah kepada takdir
Tuhan, maka tinggal berdoa saja agar terjadi keajaiban.

Siapa orangnya yang tidak mau sembuh dari penyakit? Semua orang pun
berharap sedemikian. Namun mau bilang apa? Keluarga sahabat Asep tersebut
sudah menguras habis tabungan yang mereka miliki, namun itu semua untuk
bayar biaya rumah sakit selama ini saja tidak cukup. Apalagi untuk
membiayai proses operasi? Sungguh,
yang mampu mereka lakukan adalah memohon pertolongan kepada Allah Swt. Hari
kedua belas, ketiga belas, keempat belas…. kondisi pasien semakin parah.
Badannya terlihat kurus tak bertenaga. Kelemahan itu terlihat jelas dalam
sorot cahaya mata yang kian meredup. Sang pasien tidak mampu lagi
menanggapi lawan bicara. Tumor itu semakin mengganas dan menjalar ke
seluruh tubuh. Pemandangan itu semakin menyentuh relung hati Asep yang
terdalam. Maka di pinggir ranjang sahabatnya, Asep pun mengambil sebuah
keputusan besar.

Setelah berpamitan dengan keluarga sahabatnya, ia bergegas pulang menuju
rumah. Di sana terlihat olehnya Asih sedang melayani pembeli yang datang ke
toko sederhana milik mereka. Saat pembeli sudah sepi, Asep lalu
menyampaikan keputusannya itu kepada Asih. “Bu…, Kang Endi tetangga
kita yang sedang di rawat di rumah sakit itu kondisinya semakin memburuk.

Bapak tidak sanggup melihat penderitaannya. Sepertinya kita harus bantu dia
dan keluarganya. Tiga hari lalu, kebetulan bapak sedang di sana, seorang
suster memberitahukan bahwa Kang Endi
harus dioperasi segera. Keluarganya belum berani menyatakan iya, sebab
biaya operasi itu hampir Rp 50 juta….” Asep membuka pembicaraannya
dengan kalimat yang panjang. Asih pun mulai merasa iba dengan penderitaan
Kang Endi dan keluarganya, “Kasihan mereka ya, Pak! Kita bisa bantu

apa…? Asep pun langsung menyambung
dengan cepat, “Kalau ibu berkenan, bagaimana bila dana tabungan haji kita
diberikan saja kepada mereka semua untuk biaya operasi?” Kalimat itu
diakhiri dengan sebuah senyum merekah di bibir Asep. “Diberikan….?!!
Waduh pak…, hampir dua puluh tahun kita nabung dengan susah payah agar
cita-cita berhaji dapat diwujudkan. Masa bisa pupus seketika dengan
membantu orang lain yang bukan saudara kita?” Asih mengajukan penolakan
atas usulan suaminya.

Bu…., banyak orang yang berhaji belum tentu mabrur di sisi Allah.
Mungkin ini adalah jalan buat kita untuk meraih keridhaan Allah Swt.

Biarkan kita hanya berhaji di pekarangan rumah kita sendiri, tidak perlu ke
Baitullah. Bapak yakin bila kita menolong saudara kita, Insya Allah, kita
akan ditolong juga oleh Dia

Yang Maha Kuasa.Kalimat itu meluncur dari mulut Asep dan menohok relung
hati Asih sehingga begitu membekas di dasarnya. Tak kuasa, Asih pun
mengangguk dan setuju atas usul suaminya.

Keesokan pagi, Asep dan Asih pun datang berdua ke rumah sakit untuk
menjenguk. Toko mereka ditutup hari itu. Mereka berdua datang ke rumah
sakit dengan membawa sebuah amplop tebal berisikan uang sejumlah Rp 50 juta
yang tadinya mereka siapkan untuk berhaji. Keduanya tiba di rumah sakit dan
menjumpai Kang Endi dan
keluarganya di sana. Usai membacakan doa untuk pasien, keduanya datang
kepada istri Kang Endi. Mereka serahkan sejumlah uang tersebut, dan suasana
menjadi haru seketika. Bagi keluarga Kang Endi ini adalah moment dimana doa
diijabah oleh Tuhan. Sementara bagi Asep dan Asih, ini merupakan saat
dimana keikhlasan
menolong saudara harus ditunjukkan. Lalu pulanglah Asep dan Asih ke rumah
setelah berpamitan kepada keluarga.

Uang itu kemudian segera dibawa oleh salah seorang anggota keluarga ke
bagian administrasi rumah sakit. Formulir kesediaan menjalani operasi telah
diisi. Besok pagi jam 08.00 operasi pengangkatan tumor di sendi-sendi
tulang Kang Endi akan dilakukan. Alhamdulillah! Esoknya Kang Endi sudah
dibawa ke ruang
operasi.Sebelum dioperasi, dokter spesialis tulang yang selama ini
menangani Kang Endi sempat berbincang dengan keluarga. Doakan ya agar
operasi berjalan lancar dan Pak Endi semoga lekas sembuh! Kalau boleh
tahu…, darimana dana operasi ini didapat?” Dokter mencetuskan
pertanyaan tersebut, karena ia tahu sudah berhari-hari pasien tidak jadi
dioperasi sebab keluarga tidak mampu menyediakan dananya.

Istri Kang Endi menjawab, Ada seorang tetangga kami bernama pak Asep
yang membantu, Alhamdulillah dananya bisa didapat, Dok Memangnya,
beliau usaha apa? Kok mau membantu dana hingga sebesar itu? Dibenak
dokter, pastilah pak Asep adalah seorang pengusaha sukses. Dia hanya
punya usaha toko kecil di dekat rumah kami. Saya saja sempat bingung saat
dia dan istrinya memberikan bantuan sebesar itu Istri Kang Endi
menambahkan.

Di dalam hati, dokter kagum dengan pengorbanan pak Asep dan istrinya.
Hatinya mulai tergerak dan berkata, “Seorang pak Asep yang hanya punya
toko kecil saja mampu membantu saudaranya. Kamu yang seorang dokter
spesialis dan kaya raya, tidak tergerak untuk membantu sesama.” Suara
hati itu terus membekas dalam dada
pak dokter. Pembicaraan itu usai, dan dokter pun masuk ke ruang operasi.

Alhamdulillah operasi berjalan sukses dan lancar. Ia memakan waktu hingga 4
jam lebih. Semua tumor yang berada pada tulang Kang Endi telah diangkat.
Seluruh keluarga termasuk dokter dan perawat yang menangani merasa gembira.
Kang Endi tinggal menjalani masa penyembuhan pasca operasi. Pak Asep masih
sering menjenguknya. Suatu hari kebetulan pak dokter sedang memeriksa
kondisi Kang Endi dan pak Asep pun sedang berada di sana. Keduanya pun
berkenalan. Pak dokter
memuji keluasan hati pak Asep. Pak Asep hanya mampu mengembalikan pujian
itu kepada Pemiliknya, yaitu Allah Swt. Hingga akhirnya, pak dokter meminta
alamat rumah pak Asep secara tiba-tiba.

Beberapa minggu setelah Kang Endi pulang dari rumah sakit. Malam itu, Asep
dan Asih tengah berada di rumahnya. Toko belum lagi ditutup, tiba-tiba ada
sebuah mobil sedan hitam diparkir di luar pagar rumah. Nampak ada sepasang
pria dan wanita turun dari mobil tersebut. Cahaya lampu tak mampu menyorot
wajah keduanya
yang kini datang mengarah ke rumah pak Asep. Begitu mendekat, tahulah pak
Asep bahwa pria yang datang adalah pak dokter yang pernah merawat
sahabatnya kemarin.

Gemuruh suasana hati Asep. Ia terlihat kikuk saat menerima kehadiran pak
dokter bersama istrinya. Terus terang, seumur hidup, pak Asep belum pernah
menerima tamu agung seperti malam ini. Maka dokter dan istrinya
dipersilakan masuk. Setelah disuguhi sajian ala kadarnya, maka mereka
berempat terlibat dalam

pembicaraan hangat. Tidak lama pembicaraan kedua keluarga itu berlangsung.
Hingga saat pak Asep menanyakan maksud kedatangan pak dokter dan istri.
Maka pak dokter menjawab bahwa ia datang hanya untuk bersilaturrahmi kepada
pak Asep dan istri.

Pak dokter menyatakan bahwa ia terharu dengan pengorbanan pak Asep dan
istri yang telah rela membantu tetangganya yang sakit dan memerlukan dana
cukup besar. Ia datang bersilaturrahmi ke rumah pak Asep hanya untuk
mengetahui kondisi pak Asep dan belajar cara ikhlas membantu orang lain
yang sulit ditemukan di bangku
kuliah. Semua kalimat yang diucapkan oleh pak dokter dielak oleh pak Asep
dengan bahasa yang selalu merendah.

Tiba saat pak dokter berujar, Pak Asep dan ibu…., saya dan istri
berniat untuk melakukan haji tahun depan. Saya mohon doa bapak dan ibu agar
perjalanan kami dimudahkan Allah Swt… Saya yakin doa orang-orang shaleh
seperti bapak dan ibu akan dikabul oleh Allah… Baik Asep dan Asih
menjawab serentak dengan kalimat,

Amien… Pak dokter menambahkan, Selain itu, biar doa bapak dan
ibu semakin dikabul oleh Allah untuk saya dan istri, ada baiknya bila bapak
dan ibu berdoanya di tempat-tempat mustajab di kota suci Mekkah dan
Madinah…Kalimat yang diucapkan pak dokter kali ini sama-sama membuat
bingung Asep dan Asih sehingga membuat mereka berani menanyakan, Maksud
pak dokter…Ehm…, maksud saya, izinkan saya dan istri mengajak
bapak dan ibu Asep untuk berhaji bersama kami dan berdoa di sana sehingga
Allah akan mengabulkan doa kita semua

Kalimat itu berakhir menunggu jawaban. Sementara jawaban yang ditunggu
tidak kunjung datang hingga air mata keharuan menetes di pipi Asep dan Asih
secara bersamaan. Beberapa menit keharuan meliputi atmosfir ruang tamu
sederhana milik Asep dan Asih. Seolah bagai rahmat Tuhan yang turun
menyirami ruh para hamba-Nya yang senantiasa mencari keridhaan Tuhan. Asep
dan Asih hanya mampu mengucapkan terima kasih berulang-ulang. Usai pak
dokter pulang, keduanya tersungkur sujud mencium tanah tanda rasa syukur
yang mendalam mereka sampaikan kepada Allah Yang Maha Pemurah. Akhirnya,
mereka berempat pun menjalankan haji di Baitullah demi
mencari keridhaan Allah Azza wa Jalla.

Sungguh, kesabaran panjang yang diakhiri dengan pengorbanan kebaikan, akan
berbuah di tangan Allah Swt menjadi balasan yang besar dan anugerah yang
tiada terkira.

Artikel dikutip dari Kartu Pintar produksi Visi Victory Bandung

Tidak ada komentar: